Rabu, 25 Agustus 2010

Disinformasi Nilai dan Copy Paste

oleh N. Gilang Prayoga
pada 13 Juni 2010 jam 20:39
Beberapa minggu terakhir ini, kalangan masyarakat pecinta infotainment di gegerkan dengan adegan mesum “mirip artis”. Dalam waktu yang singkat dan tidak lebih dari satu minggu, dua video berdurasi 6 menit dan 8 menit sudah menyebar di forum-forum internet dan dapat didownload siapa saja. Berbagai majalah, koran, televisi, berita online di internet sungguh tak habis-habis menganalisa, mengidentifikasi, memberikan komentar, bahkan banyak juga yang menghujat. Trafik pengguna internet meningkat drastis, rating infotainment melonjak sangat tinggi. Mereka sangat antusias untuk mendapatkan informasi tentang idola anak muda itu. Mereka berdebat, mereka terjebak di antara kebingungan informasi, percaya atau tidak percaya. Percaya karena dalam video pemainnya sangat mirip dan tingkat kemiripannya sudah mencapai 99&. Tapi di sisi lain banyak penggemar menjerit histeris dan tidak percaya kalau idola mereka yang mereka junjung-junjung tinggi sampai melakukan hal seperti itu. Tapi diam-diam mereka juga menikmati dan tidak sabar menunggu sekuel lanjutan dari petualangan cinta sang Don Juan mirip Nazril Ilham alias Ariel Peterpan yang konon katanya mencapai 32 buah dan mirip artis semua. Anda saya sarankan untuk tidak terlalu menuduh sebelum dapat dipastikan kebenarannya, kata seorang yang ahli yang mirip Pakar Telematika dengan sangat bijaksana.

Konon, orang Indonesia itu cenderung suka menuduh tanpa bukti, dan sangat percaya terhadap apa saja yang mereka dengar dan mereka lihat. Berbagai pertengkaran yang tiada habisnya baik dari kalangan elite pusat sampai urusan rumah tangga kadang bermula dari hal tuduh menuduh seperti itu. Kita punya tetangga yang bekerja biasa-biasa saja dan tidak memerlukan waktu yang lama ekonomi keluarga dan kekayaannya menjadi berlipat lipat. Bisa membeli perabotan, membangun rumah yang rumah kita sendiri sangat jauh ketinggalan, punya kendaraan yang kita tidak punyai. Karena kosmos kita adalah tidak percaya, maka kita hembuskan ke masyarakat dan tetangga yang lain bahwa si Anu memelihara tuyul, gendruwo, jin atau punya pesugihan di Gunung Kawi, Gunung Kemukus. Tetangga sekitar percaya dengan apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Maka berbondong-bondonglah mereka membakar rumah sang tersangka pemelihara tuyul tersebut.
Lain lagi dengan cerita seorang pencopet yang salah sasaran. Gerombolan orang berlarian mengejar copet pasar yang mengambil tas seorang ibu. Sang copet menggunakan baju merah dan menggunakan jins. Kejar-kejaran pun terjadi. Sang copet ternyata sangat gesit berlari (mungkin dia sudah berlatih ilmu berlari tingkat tinggi, yang secara alamiah harus dia kuasai untuk melarikan diri ). Di tikungan gang depan, sang copet berkelabat masuk mengubah arah secara berputar untuk mengelabui para pengejarnya. Para pemburu copet pun merasa kehilangan jejak (demikianlah kisah ini mengambil plotnya sendiri). Saat itu munculah, seorang dengan baju yang sama merah dengan menenteng tas plastik, hasil belanjaan di pasar. Karena mereka lihat orang itu mirip copet, tanpa ba bi bu, di kejarnya orang tersebut dan dipukulinya tanpa ampun sampai babak belur. Sampai datanglah ibu yang kecopetan tadi dan memastikan orangnya yang digebuki itu. Dan ternyata ibu yang kecopetan menyatakan bahwa orang itu bukan pencopet, namun hanya mirip dengan pencopet karena baju yang mereka kenakan mirip. Tapi sudah terlambat karena orang yang mirip copet itu sudah hancur babak belur.
Cerita-cerita di atas bukan karangan fiksi atau rekayasa. Tapi memang sungguh terjadi dan bahkan menjadi santapan gosip kita sehari-hari. Konon katanya menjadi tema yang sangat asik yang diperdebatkan ibu ibu kumpulan RT, bapak-bapak di gardu poskamling, anak-anak muda di pertigaan warung dan siapapun. Masyarakat Indonesia tidak mempunyai wawasan untuk melihat sebuah tema dan masalah dari sudut pandang ilmiah, sangka baik, atau riset dengan seksama sebelum mengeluarkan statement. Budaya superfisial sangat menonjol dan dijadikah ukuran penilaian seseorang, lembaga, kegiatan, atau apapun.
Namun seringkali, masyarakat juga tidak bisa disalahkan karena menjadi sangat terlalu percaya dan menuduh tanpa bukti. Tercermin dari kasus Ariel, Luna dan Cut Tari ini, tertuduh tidak segera mengkonfirmasi kepada khalayak publik, apakah benar atau tidak benar. Jika mereka sudah mengkonfirmasi dan membuktikan dengen analisis fakta, data bahwa itu hanya mirip dan bukan mereka. Masalah ini akan selesai dan tidak berlarut-larut. Tapi entah dengan dasar dan alasan yuridis yang bagaimana, mereka tidak segera mengkonfirmasi dan bahkan ditinggal kabur. Semoga saja nasib Ariel tidak seperti kisah pencopet dan pemelihara pesugihan itu dan di tawur oleh seluruh masyarakat Indonesia.

****

Senin, 12 April 2010

Kembalikan Rasa Malu dan “Kemaluanku” !!


Jika anda datang bertamu ke rumah tetangga atau handai tolan, maka hal pertama yang anda lakukan pastilah memberi salam, mengetuk pintu dan menunggu si tuan rumah mempersilakan kita untuk masuk. Setelah di terima masuk, mestinya anda tidak langsung dan nyelonong ke dalam bilik privacy tuan rumah, namun duduk dan jagongan di tempat yang sudah di sediakan di ruang tamu. Itulah unggah-ungguh budaya secara universal di setiap negara dan komunitas masyarakat di belahan dunia manapun. Jangan anda datang bertamu di tempat orang dan langsung menuju ke-misalnya-ruang tidur atau ruang makan dan mengambil segala jenis makanan yang ada di dalam lemari es, kalau anda tidak ingin di kemplang si tuan rumah. Itu sudah menjadi tata krama yang telah disekati secara komprehensif antar lapisan masyarakat. Dalam masyarakat jawa biasa disebut budaya kulonuwun.
Rumah, adalah sebuah simbol yang merepresentasikan hasrat, keinginan dan kompleksitas masalah, baik psikologi, hukum, moral dan budaya. Anda menciptakan rumah pastilah di bagi-bagi dan tersekat-sekat antar dinding. Ini menunjukkan bahwa jiwa manusia memiliki beberapa sekat psikologis. Kapan dimana saatnya manusia butuh kesendirian, dimana saat kita butuh bersantai dan mengorol dengan sanak family kita. Rumah menyediakan akomodasinya dengan ruang-ruang yang sudah di desain khusus untuk jiwa kita.
Kemudian, dimana relasi dengan tema kali ini?
Manusia mempunyai kecenderungan dua wajah. Satu wajah yang ingin di tampakkan dan satu wajah yang ingin di sembunyikan. Ruang tamu, halaman, teras, taman merupakan simbol dari rumah untuk kita tampilkan dan kita tunjukan kepada orang lain. Untuk itu kita menambahi berbagai ornamen dan pajangan-pajangan agar lebih tampak segar dan hidup. Namun disisi lain kita juga mempunyai kamar tidur, ruang-ruang pribadi yang kemungkinan orang luar tidak dapat mengakses sampai ke dalam, karena hanya dikhususkan untuk konsumsi pribadi. Karena tidak semua dalam di dunia ini harus di tampilkan. Jika itu dilanggar, produknya adalah rasa malu karena hal yang seharusnya ditutupi ternyata telah di ketahui orang lain.
Budaya jawa dan bangsa Indonesia sejak dulu sangat terkenal dalam budaya malu dan menjunjung tinggi budaya unggah-ungguh-nya. Tutur katanya halus dan mempunyai segmen tingkatan bahasa yang tidak di miliki oleh budaya lain di dunia. Anda ngobrol dengan Nenek anda jangan anda samakan ngobrol seperti di warung kopi bersama handai taulan. Ada tata cara budaya jawa yang mengatur hubungan itu. Tidak seperti bahasa inggris yang hanya bisa ngoko kepada siapapun. Baik itu kepada ibu, bapak, nenek, sodara, teman, adik, atau kepada siapapun. Budaya egaliter dan tanpa tedeng aling-aling membuat budaya mancanegara lebih tidak punya malu kepada siapapun. Mereka telanjang, bermain seks di tempat umum, konvoi hanya memakai BH dan celana dalam, menggunakan bikini dan aksesoris yang—bukan untuk menutupi—namun lebih sebgai penegasan penelanjangan, dalam budaya mereka itu sudah biasa dan janganlah anda heran dan terkaget-kaget.
Justru anda harus kaget jika terdapat orang yang di besarkan dalam kondisi dan lingkungan budaya rasa malu yang tinggi tiba-tiba menjadi lebih tidak punya malu. Kadar tingkat rasa malunya pun sudah mencapai tahap yang paling akut kalau tidak boleh di bilang bebal. Pertunjukan parade ekshibisionis pacaran di tempat umum, hamil di luar nikah, korupsi penggerogotan nilai dan materi yang seharusnya milik rakyat. Dan berbagai kelakuan yang tidak sepantasnya seperti --masalah keluarga-- dipertontonkan kepada publik, malah sekarang jadi komoditas industri infotainment yang sangat laris dan berbiaya sangat mahal. Seorang koruptor berjalan tegak dengan bangga sambil melambaikan tanganya dan tidak menunjukkan rasa bersalah setelah bebas dari penjara dan– misalnya kembali lagi sebagai dosen atau pekerja pemerintahan lain— masih saja tetap di hormati dan di junjung tinggi.