Kasus fraud yang menghentak program
pemberdayaan di rasa menjadi sebuah tamparan keras. Sebuah
harian nasional memberitakan bahwa total dana yang di selewengkan
mencapai angka sebesar 220 Milyar Rupiah yang terakumulasi dari tahun 2007
sampai dengan tahun 2011. Sebuah angka fantastis untuk ukuran sebuah program
pemberdayaan yang di gadang-gadang sebagai program pemberdayaan terbaik dan
tersukses di negeri ini. Itu angka
dari data yang tercatat, yang di laporkan dan di temukan. Untuk kasus-kasus
yang belum di ketahui atau di laporkan masih mungkin angkanya menjadi lebih
besar.
Program pemberdayaan hadir di tengah stigma
negative masyarakat akan pembangunannya. Berpuluh tahun masyarakat tidak pernah
di ikutkan serta di libatkan dalam proses pembangunan desanya, sehingga lambat
laun menggumpal kesadaran bahwa yang memiliki uang adalah Pak Kades, Camat,
Bupati hingga Presiden. Rakyat merasa tidak punya hak apa-apa untuk ikut
berpartisipasi. Karena toh berpartisipasi saja juga belum tentu ada hasilnya
yang nyata, yang dapat di rasakan langsung oleh mereka. Seringkalinya yang
mereka dapatkan adalah semacam hadiah, gula-gula permen asam manis pembangunan,
yang kadangkala kurang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Dan hasilnya
masih terdapat kegiatan proyek pembangunan yang mangkrak dan tidak dapat
digunakan secara optimal.
Rakyat juga masih terkesan menganggap segala
program yang hadir di desa mereka adalah bantuan pemerintah. Proyek. Bukan atas
dasar kesadaran bahwa itu hak mereka sebagai warga negara untuk juga ikut
menikmati pembangunan yang adil dan merata. Yang dapat meningkatkan harkat dan
kesejahteraan bersama. Imunitas cultural ini sungguh sangat mengkhawatirkan dan
memprihatinkan. Dengan kosmologi pemikiran seperti itu, maka mayoritas
masyarakat menjadi apatis dan cuek terhadap pembangunan. Mereka kadangkala
tidak mau perduli, acuh, cuek dengan segala proses pembangunan di desanya.
Karena menurut mereka memang membangun itu tugasnya pemerintah.
Dengan adanya program pemberdayaan, masyarakat
yang selama ini menjadi objek pembangunan, di beri peluang untuk beralih haluan
menjadi subjek pembangunan itu sendiri. Dengan diberikannya kewenangan dan
otonomi serta di dukung oleh demokrasi dalam musyawarah mufakat.
Masyarakat menyambut gegap gempita dengan tepuk
tangan bersorak-sorai, ketika mendapatkan alokasi dana. Mereka tentunya
bergembira karena ingin ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan desanya. Namun
disamping niat baik itu ternyata kadangkala (meskipun tidak semuanya) juga
masih disisipi motivasi mendapatkan proyek yang outputnya adalah mengorbankan
asas manfaat dari kegiatan tersebut.
Seringkali terdengar celotehan, “Ah ini kan uang
negara, tidak ada yang di rugikan”. Toh yang menikmati juga masyarakat kita
sendiri.” Kata mereka. Dan masyarakat tidak sepenuhnya di persalahkan memiliki
naluri seperti itu. Mereka setiap hari selama berpuluh-puluh tahun di ajari
oleh sistem yang membuat mereka mau tidak mau berfikir dan bertindak seperti
itu.
Maka ketika kran otonomi daerah di buka, ketika
regulasi berubah dari sistem perencanaan top down menjadi sistem bottom up,
ketika segala aspek perencanaan pembangunan harus melalui musyawarah mufakat,
ketika pelaksanaan kegiatan tidak lagi di dominasi oleh kalangan birokrasi
tertentu, ketika masyarakat menjadi garda depan penggiat pembangunannya sendiri
terjadilah benturan-benturan di berbagai tingkat horisontal maupun vertikal. Kepentingan
politis bertarung dengan kepentingan teknokratis. Kepentingan teknokratis
bergulat dengan perencanaan partisipatif. Ini menyalahkan itu, utara
menyalahkan selatan. Sampai wajah pemberdayaan kabur hilang terselip di antara
pertarungan.
Proyek
pemberdayaan yang secara teknis di mandatkan untuk di kelola masyarakat menjadi
bahan bancakan di kalangan pelaku masyarakat sendiri. Kasus penyimpangan dari
kades yang meminta jatah dana dari proyek, kisah tentang Tim Pelaksana yang
menggelapkan dan memanipulasi material proyek, cerita tentang koordinator
ekonomi desa yang memakai uang angsuran simpan pinjam kelompok untuk dirinya
sendiri, Unit Pengelola Kegiatan yang , Fasilitator yang membawa kabur uang
BLM, dan masih banyak lagi kejadian-kejadiannya yang memperlihatkan bahwa
proses pelemahan pemberdayaan itu terkadang muncul dari dalam pelaku itu
sendiri.
Oknum pelaku pemberdayaan
itu sendiri yang semakin pandai, mampu memanfaatkan celah kelemahan dengan
mencari pembenaran sendiri dengan mengatasnamakan pemberdayaan dan demokrasi.
Saya meng-igah-iguhkan (baca mensiasati) dana itu tidak masalah, yang penting
tidak sendirian karena di ketahui dan di setujui oleh yang lain. Meskipun dalam melegitimasi keputusan itu menumpang di atas nama demokrasi dan forum
rapat. Maka itu sah dan tidak di ganggu gugat.
Maka rakyat yang kepentingannya mestinya di wakili
oleh bagian dari mereka sendiri, yang telah mereka pilih melalui forum
demokrasi, yang mereka harapkan dapat menjadi ujung tombak kemandirian desa
mereka, ternyata juga tidak ubahnya berperilaku seperti oknum pembangunan yang
terlebih dulu ada. Yang mengkhianati amanat mereka.
Meskipun data menunjukkan bahwa hanya terdapat 0,2
% kasus penyimpangan dari total dana alokasi seluruh Indonesia, namun
benih-benih penyelewangan sudah terlihat dari berbagai titik. Dan sudah
harus kita respons dengan langkah-langkah yang strategis tanpa melemahkan
proses pemberdayaan itu sendiri.
Kita sendiri
telah menyetujui bahwa inti dari ruh pemberdayaan adalah tentang proses
penyadaran masyarakat. Penyadaran tentang esensi hak atas pembangunan, hak
social ekonomi budaya yang di mandatkan dan
tercantum dalam UUD alinea ke-4. Kasus-kasus penyimpangan yang terjadi tidak
harus menggagalkan hasil yang telah di capai dari program pemberdayaan. Kasus
ini, hanya menjadi bagian kecil dari langkah kita bersama untuk membenahi diri,
sistem manajemen dan regulasi untuk dapat menjaga niat baik dalam membantu
saudara-saudara kita yang kurang beruntung.
Purbalingga, 29 Januari 2012
N. Gilang Prayoga
Praktisi Pemberdayaan