Idiom lebay, entah dari muatan psikologis apa asal-usul kata tersebut
muncul dan menjadi trending istilah di kalangan anak muda. Segala sesuatu yang
di anggap kampungan, ketinggalan jaman,
ndeso, norak atau apapun saja akan segera mendapat stempel lebay. Dari mode
pakaian, gaya hidup, pemikiran, ungkapan kata, hasil pemikiran, sampai gaya
bicara. Anda jangan sampai salah ucap, karena tuduhan keji itu bisa-bisa akan
beralamat juga kepada Anda. Dan tulisan ini pun jika di pandang dengan
perspektif seperti itu mengandung elemen lebay juga.
Yang jadi permasalahannya adalah legitimasi dari siapakah yang bisa mencap
seseorang dan tindakannya itu lebay atau tidak.
Apakah ada majelis yang secara
sah dan mempunyai kewenangan ilmiah untuk dapat menentukan kata ini lebay atau
tidak, tulisan ini lebay atau tidak, atau bicara begini lebay atau tidak
selayaknya MUI dapat menentukan jenis barang halal atau haram.
Padahal kalau kita urut satu demi satu, mana di dunia ini yang tidak masuk
kategori lebay. Dari semua kumpulan sastra penyair, mahakarya lukisan dari
pelukis, pidato pidato kenegaraan para Menteri, dan apapun juga dalam kehidupan
kita ini tidak mungkin bisa terlepas dari kata lebay.
Lebay itu terbatas hanya dalam soal kata-kata saja atau juga melingkupi
dalam bidang-bidang lain? Kalau mengacu istilah anak muda sekarang, segala hal
yang mengundung unsur di lebih-lebihkan baik kata, tindakan, berpakaian, apapun
saja termasuk kategori lebay.
Dan lebay tidak terbatas secara harfiah saja, namun lebay lebih merupakan
wacana budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan apapun saja yang menyangkut
dinamika kehidupan. Kalau anda membuat sebuah patung yang memenuhi standart
artistik yang tinggi, akan sangat mudah memasukkanya ke dalam kotak lebay tadi.
“Ngapain, ente buat batu jadi kaya gitu?? Lebay banget...!!” kata seorang yang
anti lebay. Atau anda membuat aransemen lagu, dengan lirik yang puitis dan
mendayu-dayu. Orang anti-lebay juga akan langsung secara keji memasag spanduk
lebay di halaman rumah anda. “Emangnya tidak bisa,ngomong yang biasa
saja..lebay banget..!”. Kalau setiap karya di pandang dengan seperti itu ya
sudah. Mampuslah kebudayaan dunia. Tidak akan muncul kebudayaan, muncul karya
seni, tidak ada puisi, lagu, sastra, mode pakaian, handphone, gedung-gedung
bertingkat dan apapun saja. Karena menurut kaum anti lebay, itu semua merupakan
hal yang di lebih-lebihkan. Para pelawak dan artis sudah akan segera pensiun
dini, karena semua yang diungkapkannya pasti mengandung unsur lebay. Lha itu di
panggung malah dengan gaya yang sok lucu, sok mendramatisir, dan sok-sok yang
lain. Bukankah itu juga bagian dari lebay.
Bahkan tanpa disadari pun sebenernya orang yang menuduh dengan mengatakan
lebay pun sebenarnya dia sendiri juga lebay. Kata lebih kok di rubah-rubah dan
di tambahkan jadi lebay. Lha itu kan juga lebay banget.
Ungkapan ini sungguh sangat akan memandegkan kreativitas, memandulkan
kesenian, memotong denyut dinamika budaya masyarakat yang berkembang.
Karena sesungguhnya kita sama-sama di kelilingi oleh kebutaan massal dalam
memandang apapun secara jernih dan objektif dalam konteks ini. Istilah lebay
hanya salah satu simptoma dari arus sejarah yang semakin hari semakin
membingungkan.
Mungkin dulu tidak akan ada Chairil Anwar atau Rendra, jika mereka di tuduh
terlebih dahulu dengan istilah itu, karena melebih-lebihkan kata-kata menjadi
sesuatu yang puitis. Mungkin kita tidak akan kenal Koes Plus, Justin Bieber,
Anggun C Sasmi, Michael Jackson, Glenn Fredly, grup-grup band, drama, teater,
penyair, pelawak, dan apapun saja karena kita menganggapnya juga termasuk
kategori lebay.
Alangkah lebih logis sebenarnya kalau kita yang semestinya berterima kasih
kepada para mereka yang lebay itu karena telah ikut memberi andil menciptakan keindahan
dan dinamika dalam hidup kita dengan kelebihan-kelebihannya.
N. Gilang Prayoga
Purbalingga