Kadang bicara dengan benda mati dan menganggapnya hidup lebih mengasyikkan...Mungkin karena mereka lebih patuh dan minim dusta.! #Absurd.
Berbicara, berdiskusi ataupun berinteraksi terkadang lebih menyenangkan dengan
benda yang jelas-jelas tidak punya mulut. Bukan berarti saya mengecam karunia
mulut yang di berikan Tuhan, atau tidak mensyukuriNya. Pada saat moment atau
situasi tertentu, kita seringkali menjumpai hal-hal merepotkan yang
bersinggungan dengan mulut. Mulut terkadang mendendangkan lagu-lagu manis,
janji manis dan berbagai ungkapan tentang keindahan namun mulut juga seringkali
membuat kita patah hati dengan memberikan kebohongan, komentar kasar,
ungkapan-ungkapan sinis dan menyesakkan.
Mulut dan lidah merupakan suatu paket tidak terpisahkan dari diri kita
dalam berkomunikasi dengan makhluk lain sejenis. Dalam artian mulut dan lidah
yang menjadi medium utama kita untuk menyampaikan gagasan, ide, pandangan,
informasi dan apa saja yang ingin kita sampaikan kepada orang lain. Mulutpun
menjadi senjata utama kita untuk mempengaruhi orang, meskipun ada medium lain
seperti misalnya melalui tulisan.
Namun pola komunikasi yang di bangun oleh mulut ini, ternyata tidak
terlepas dari element-element yang kita bangun dalam diri kita. Segala hal yang
menyangkut ide dan pandangan kita ternyata tidak cukup bila di akomodasi hanya
dengan sebuah mulut saja. Maksud saya, mulut dalam muatan penyampaiannya jelas
di pengaruhi tidak hanya sebatas kharisma anda, kewibawaan anda atau informasi yang anda miliki namun juga
misalnya apakah posisi anda di lingkungan sosial, posisi jabatan anda di
kantor, ketenaran anda di ruang publik, seberapa sering anda masuk TV,
intervensi sosial anda atau apakah anda dekat pak pejabat anu atau bu pejabat itu, dan masih banyak unsur yang
lain. Gamblangnya adalah apabila anda tidak punya status sosial penting
sekurang-kurangnya menduduki jabatan dalam struktur birokrasi, atau tidak punya
uang untuk membayar orang lain untuk mendengarkan ceramah anda, maka hampir d
pastikan bahwa mulut anda tidak akan berfungsi maksimal dan hanya menjadi
gemeramangan saja.
Hal semacam itu juga tidak hanya dalam lingkup pergaulan yang besar dan
luas yang berskala nasional, namun juga merambah sampai ke lingkup pergaulan
individu kita. Kita dididik oleh suatu budaya dimana kita hanya sanggup
mendengarkan “orang penting” saja, namun tidak pernah terbiasa untuk mendengar “orang
biasa” berbicara baru kita nilai ucapannya baik atau tidak, pemikirannya bagus
atau tidak. Kita sudah menganggap bahwa mulut para “orang penting” itu
segala-galanya benar dan tidak ada yang berani membantah. Karena “orang
penting” itulah penentu akses kebutuhan kita baik dalam bidang ekonomi maupun
politik . Disanalah terletak nasib masa depan kita pribadi sehingga kita tidak
kuasa untuk berbeda pandangan. Kalau anda di luar struktur itu, maka anda
menjadi antagonis atau setidaknya oposisi yang nasibnya anda tentukan sendiri.
Kalau mulut anda lebih keras suaranya dari kompetitor anda maka anda akan di
dengarkan, namun bila anda tidak mempunyai apa-apa, silahkan anda mencari dana
santunan untuk menjamin kelangsungan hidup anda.
Kebanyakan kita memang tidak pernah bijak dalam menggunakan mulut ini. Kita
merasa menjadi orang yang harus di dengarkan tanpa ingin mendengarkan. Naluri
kita adalah ketika orang lain berbicara satu patah kata, bagaimana caranya kita
membalas lima patah kata. Ketika kawan kita berbicara lima patah kata, kita
sudah menyiapkan lima belas kata. Dorongan eksistensi seseorang, seringkali
membutakan kita untuk berhati-hati dalam memelihara mulut. Kita lebih bisa
berbicara daripada mendengar. Orang
semakin tidak sanggup mendengar, karena mendengar itu membutuhkan energi yang
banyak dan juga melelahkan.
Pola pergaulan kita dalam berkomunikasi telah mengalami reduksi dan
degradasi yang cukup serius. Bagaimana banyak dari kita yang telah gagal dan
menjadi gagap menghadapi arus komunikasi modern ini. Ketika suara anda tidak
pernah terdengar, ketika pendapat anda dalam suatu forum diskusi, simposium,
rapat atau apapun saja tidak pernah di tampung dan di dengarkan, maka kita
menjadi orang yang disingkirkan secara tidak langsung dalam pergaulan sehingga naluri
menuntun kita untuk mencari saluran dengan medium yang lain. Dan setelah
sekian lama akan membentuk sikap dan perilaku kita. Orang-orang kalah itu
semakin hari semakin banyak dan meledak. Karena sudah lelah mendengarkan
ceramah yang tidak enak di dengarkan, maka kita diam-diam bersepakat untuk juga
tidak usah mendengarkan juga. Batin
kita “biarin dia mau omong sendiri, emang gua pikirin….”. Kita lantas
bertransformasi menjadi orang yang cuek dan tidak perduli lagi. Kita menjadi defensive, dan lebih memilih
tenggelam dalam kesibukan kita sendiri tanpa memerdulikan kehadiran orang lain.
Dan itulah yang terjadi beberapa dekade yang lalu di negara-negara Eropa dan
Amerika. Menjadi orang individualistis. Anti-sosial.
Namun diam-diam dalam hati kita juga merasa membutuhkan suatu hal, benda
atau apapun saja yang dapat menerima pemikiran kita, ide-ide kita, dan mau
menuruti segala kehendak kita. Yang tidak pula pernah membantah, mempunyai
toleransi yang tinggi, selalu menghargai segala unek-unek kita. Dan dapat kita
perlakukan sesukanya. Boleh kita marahi, boleh kita umpat dan kita maki.
Dan mungkin salah satu medium alternatif yag kita sepakati bersama-sama
adalah dengan berinteraksi dengan teknologi, meskipun alternatif itu bisa kita
ambilkan juga mungkin dari hobi, retreat atau menyepi dan masih banyak yang
lain.
Alhasil, berkomunikasi melalui teknologi menjadi pilihan utama kita.
Sebagaimana kita lihat banyak orang modern sekarang yang lebih nyaman untuk
berbicara kepada Blackberry, Smartphone, Laptop, Internet dan media-media lain
yang memungkinkan saluran aspirasi kita dapat di sampaikan. Mereka lebih nyaman
untuk mengetik BBM, memandang layar komputer dan internet daripada
berkomunikasi langsung dengan teman yang berada di sampingnya. Anak-anak muda
lebih memilih berinteraksi di Facebook atau Twitter daripada berinteraksi langsung.
Kita lebih asyik dengan hobi, pekerjaan, handphone atau komputer jinjing
kita sehingga sampai tidak perlu mengenal tetangga di sebelah rumah kita.
Gelombang teknologi informasi telah merampas persentuhan alamiah manusia,
dan telah di serahkan sepenuhnya kepada alat-alat modern yang kita percayai.
Pola komunikasi kita banyak menjadi artifisial, canggung ketika kita langsung
berhadapan dengan manusia lain. Kita lebih lancar berkomunikasi dengan
mengetikkan huruf-guruf di papan komputer atau handphone namun gagap ketika
berkomunikasi.
Karena mulut yang kita miliki tidak lebih nyaman di dengarkan daripada
handphone, tidak lebih menyejukkan daripada laptop atau apapun barang-barang
modern saat ini.
N. Gilang Prayoga
Purbalingga, 28 Februari 2012
Tks For : Trisno Plettonic untuk
quote-nya dalam Facebook.