Jumat, 06 April 2012

Menggugat Teori Kebutuhan Maslow

Awalnya dulu saya tidak begitu perduli dengan teori-teori akademis yang berkembang untuk mempelajari perilaku manusia. Karena perilaku manusia sangat sulit untuk kita rumuskan karena begitu banyak mengandung probabilitas. Meskipun kita telah mengumpulkan data, meneliti sampai detail dari berbagai macam sudut pandang ilmiah, membandingkan teori ini dan teori itu namun kesimpulan akhirnya adalah bahwa manusia itu sulit di tebak. Tidak heran maka muncul beberapa ungkapan seperti “dalamnya laut dapat di ukur, hati orang siapa yang tahu” dan ada juga “rambut sama hitam, hati orang siapa yang tahu” dan masih banyak lagi. Tinggal anda cari sendiri, dan bahkan mungkin dapat anda ciptakan sendiri.

Dari latar belakang itulah maka saya sedikit ingin mempertanyakan teori kebutuhan yang di perkenalkan oleh Abraham Maslow. Bukan berarti saya lebih pintar dari beliaunya. Dan bukan berarti saya memiliki teori yang melebihi teorinya. Namun ini hanya sebuah tangkapan atas pandangan-pandangan pribadi saya. Dan tidak bisa di pastikan bahwa saya juga benar seratus persen. Silahkan di koreksi bila ada yang salah.
Teori maslow merupakan salah satu penjabaran untuk mempelajari tentang perilaku  manusia untuk mencapai kebutuhannya. Gagasan kebutuhan manusia itu di jabarkan dalam piramida 5 tingkat. Yang pertama atau  tingkat paling bawah adalah kebutuhan fisik (Physiological Needs) yang menjelaskan tentang kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisik. Yaitu bahwa manusia harus terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan sandang, pangan, papan. Kebutuhan ini di pandang sebagai kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi karena  apabila tidak terpenuhi maka akan terjadi keadaan yang sangat ekstrim yang menyebabkan manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri. Pabila kebutuhan dasar ini sudah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs).
Kebutuhan akan rasa aman mendefinisikan kebutuhan tentang rasa aman yang berhubungan dengan perlindungan jaminan keamanan, stabilitas system yang dapat menghindarkan manusia dari rasa cemas, khawatir dan sebagainya. Di tingkat selanjutnya terdapat kebutuhan di cintai dan di sayangi (Love and Belongingness Needs ), yang ke empat kebutuhan Harga Diri (Esteem Needs) dan puncaknya adalah kebutuhan aktualisasi diri (Self Actualization Needs).
Mari kita kupas lebih dalam dari satu perspekstif untuk kita kaitkan dengan kehidupan kita sekarang. Apakah kebutuhan aktualisasi diri menjadi kebutuhan puncak yang memastikan bahwa bila kebutuhuhan itu terpenuhi maka manusia akan mendapatkan bahagia?
Kita ambil salah satu contoh, misalnya artis. Secara kasat mata jika kita lihat maka seorang artis tenar dapat di kategorikan telah memenuhi segala persyaratan dalam teori kebutuhan Maslow. Pemenuhan kebutuhan fisik yang melimpah, rasa aman, di puja-puja seantero negeri, memiliki harga diri dan pastinya juga memiliki aktualisasi diri. Bila teori benar adanya, maka coba kita kaitkan dengan maraknya kasus bunuh diri yang banyak terjadi di korea, jepang ataupun di Negara-negara yang lain. Kasus Kurt Cobain, Jim Morrison, Janet Joplin, Brian jones sampai Elvis Prasley dan banyak kasus artis lain yang serupa membuka mata kita, bahwa terpenuhinya piramida teori maslow belum menjadi jaminan bahwa manusia dapat hidup bahagia.  Kalau memang benar adanya teori tersebut, seharusnya manusia yang telah mencapai kebutuhan puncaknya tidak akan pernah mati bunuh diri secara konyol. Lalu, sesungguhnya kebutuhan apalagi yang hilang?

Selanjtunya coba kita sejenak untuk beralih memandang kepada wajah Indonesia dewasa ini untuk mencari pembandingnya Secara umum masih  banyak rakyat yang tidak mendapatkan hak-hak dasar baik perumahan, sandang maupun papan. Data BPS menunjukkan kurang lebih 30 juta rakyat Indonesia di bawah garis kemiskinan dengan kemampuan pengeluaran sebulan hanya sebesar Rp 271.000,-. Golongan hampir miskin malah mungkin lebih besar itu dan  bahkan mendominasi data kependudukan. Gelandangan, anak terlantar, pengemis memenuhi jalan-jalan raya ibukota dan bahkan mungkin hidup kita tidak begitu jauh dari mereka karena sesungguhnya dalam banyak hal kita juga masih kekurangan hak dasar. Namun kita tengok saja dengan perilaku bangsa besar ini. Negara ini menjadi negara pengimpor terbesar, segala produk yang di jejalkan ke Indonesia di jamin pasti laku. Kerjaannya tiap hari hanya melihat goyang dangdut, acara-acara yang nuansanya adalah tertawa terbahak-bahak. Bangsa yang sangat peramah, karena selalu menebarkan senyum kepada semua orang. Meskipun secara lahiriah dari segi ekonomi dan pemenuhan hak dasar rakyat Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara maju yang lain, namun kadar gembiranya orang Indonesia tidak pernah tertandingi di manapun. Acara-acara lawak, dangdut koplo, musik-musik pop kacangan, menjadi bagian pokok dari segala hidup manusia Indonesia. Karena hanya acara itulah yang mungkin menawarkan kegembiraan. Sehingga kualitas gembira rakyat indonesia jauh lebih tinggi daripada negara-negara yang lain. Artinya meskipun dalam beberapa hal rakyat Indonesia belum mendapatkan kebutuhan seperti dalam teori Maslow tersebut, nyatanya penduduk Indonesia banyak bergembira ria dengan tidak memusingkan kehidupan mereka. Dengan artian, sanggup tahan melihat ketimpangan, kecurangan yang terjadi atas penyelenggaraan negara ini yang semakin mempersulit hidup mereka. Bangsa Indonesia ini hanya geger ketika harga BBM naik.

Sedangkan Amerika dan Eropa panik serta kalang kabut menghadapi ancaman krisis ekonomi, krisis energi. Banyak perusahaan yang colaps dan mau tidak mau mem-PHK-kan secara massal karyawannya. Sehingga yang terjadi adalah tingkat bunuh diri masyarakatnya naik secara signifikan, karena mereka tidak mampu melihat masa depan apabila mereka telah di pecat dari perusahaannya.

Kebutuhan Spiritual

Namun ternyata ada kebutuhan yang di luar frame tersebut. Kita ambil salah sati contoh yaitu perang memperebutkan tanah suci Yerussalem antara Israel dan Palestina. Banyak konflik yang terjadi di dalamnya yang melibatkan suku, ras, sejarah nenek moyang sampai keyakinan agama. Kalau benar teori maslow, harusnya kita tidak usah pusing-pusing dong dengan urusan seperti itu. Mau perang, mau rebutan minyak, mau menghancurkan tempat ibadah, mau menghina nabi, menjelek-jelekkan keyakinan agama lain tentu tidak menjadi kebutuhan bagi penganut teori Maslow. Namun ternyata, ada sisi internal manusia akan kepercayaan terhadap sesuatu yang ghaib. Sesuatu yang mereka imani yang bernama agama atau kesadaran spiritual. Agama telah di pandang menjadi kebutuhan pokok bagi manusia, sehingga harus di pertahankan dengan segala daya upaya. Di Barat, agama yang pada pertengahan abad 19 di yakini hanya akan menjadi bagian marginal dari kebutuhan manusia mendadak runtuh seiring mengelupasnya ideology kapitalisme dan liberalisme yang semakin tidak mampu menjawab kebutuhan elementer karena menciptakan kesenjangan dan ketimpangan yang luar biasa ekstrim antar manusia. Uni soviet hancur karena masyarakatnya menuntut hak-haknya untuk menjalankan agama. Walhasil tidak aneh apabila beberapa decade terakhir ini, semakin banyak tumbuhnya kebutuhan spiritual di Negara-negara Eropa dan Amerika. Sehingga tidak mengherankan pula jika kitab suci menjadi buku yang paling laris di beli.
Kalau hanya mengacu kepada Teori Maslow, tidak pernah ada tercantum kebutuhan spiritual atau agama disana. Padahal yang mereka diskusikan dan perdebatkan dari teori maslow itu adalah sebagian petak kecil dari yang namanya agama.
Fenomena yang terjadi saat ini, sedikit banyak harus mempertanyakan relativitas teori kebutuhan Maslow. Apabila sebuah teori tidak mampu menjawab realitas ilmiah yang terjadi, sesungguhnya ia telah gagal menjadi teori. Namun bila sekadar teori itu saja mampu di percayai oleh sebagian besar akademisi dunia, kenapa pula mereka tidak mampu menerima agama sebagai landasan dasar ilmu pengetahuan dan sebagai penjawab esensi kebutuhan dari manusia.

Gilang Prayoga
Bobotsari, 06 April 2012
15.08 WIB

4 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
Sumber: http://seociyus.blogspot.com/2013/02/cara-membuat-komentar-facebook-keren-di-blog.html#ixzz2VpFDRcvD Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial Follow us: @SEOCiyus on Twitter
  1. ga sengaja baca blognya awal nya cuman cari cari teori maslow nemu ini. sip keren coy blog nya ! keep posting.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih sudah mampir...

      kalo berkenan monggo bisa mampir di blog saya disini :
      www.gilank18.wordpress.com

      karena di blog itu sya sering posting. Kalau disini sudah lama belum saya update.

      Hapus
  2. Bagaimana anda bisa pastikan klw Kurt Cobain, Jim Morrison, Janet Joplin, Brian jones, Elvis Prasley dan artis lain tidak memiliki spiritualitas? Jika seandainya semua orang yang anda sebutkan atau beberapa saja diantaranya memiliki spiritualitas, maka secara otomatis anda menggagalkan teori “kebutuhan spiritual” anda sendiri.

    Kedua, saya rasa anda juga salah mengambil kesimpulan. Sebenarnya semua tokoh yang anda sebutkan yang anda katakan semua kebutuhan “winslow”nya terpenuhi tapi tidak merasa bahagia dan bahkan sampai bunuh diri terlalu anda generalisasi. Misalnya saya ambil segmen “kebutuhan akan kasih sayang” dari teori winslow. Semua artis atau tokoh yang anda sebutkan memang sangat banyak orang yang menyayangi dan mencintai dia, secara dia orang terkenal. Namun bagaimana klw orang yang dia sayangi dan cintai sendiri tidak menyayanginya? Maka itu bisa menjadi pemicu ketidakbahagiaannya. Jadi, jangan Cuma tinjau berapa banyak org yg menyayangi dia,tapi tinjau juga brp bxk yg tdk menyayangi dia, especially siapa? Namun, bkn berarti sy mngatakan harus semua orng menyayangi dia lalu segmen “kasih sayang” winslow menjadi sempurna, melainkan ketika 0 orng yg membenci dia (tidak membenci, bkn berarti menyayangi ya, bisa jadi “tidak peduli) , dan orng yang dia harapkan menyayanginya secara actual menyayanginya, baru segmen “kasih sayang” menjadi “sempurna”.
    Hal ini juga menurut saya berlaku untuk bebrapa segmen kebutuhan “Winslow” yg lain yaitu harga diri dan actualisasi diri.

    Tha last, bagaimana menurut anda jika sya berkesimpulan, spiritualitas hanya berfugsi sebagai “stabilisator” dimana ketika seseorang tidak mampu memenuhi 5 kebutuhan “winslow”nya secara “sempurna”, maka disitu spiritualitas berfungsi sebagai stabilisator (semacam penenang), dengan kata lain jika ke5 kbtuhan winslow terpenuhi secara “sempurna” maka tidak dibutuhkan “stabilisator” lagi??

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah maaf ya baru sempat balas...baru sempat buka blog ini lagi...

      Oke coba kita akan diskusikan satu persatu ya..
      1. Mari kita bincangkan spriritualitas disini, bermakna sebagai "rasa ketuhanan dan mempercayai sesuatu yang gaib yang di luar kendali manusia dan kita butuhkan untuk menjaga ketentraman dalam diri kita."...saya tidak menyampaikan mereka tidak mempunyai spiritual. Hanya yang saya maksud, bahwa pandangan spiritual (agama) "mungkin" belum menemukan esensi agama bagi hidp mereka.
      2.Jawaban nomor 2 ini sebenarnya juga harus kita gali lagi tentang makna agama bagi tawaran kehidupan kita. Kalau dalam teori agama, "apa yang mungkin kita rasakan sebagai kesedihan bagi ukuran pandangan manusia, belum tentu berlaku bagi pandangan tuhan kepada kita."
      3. Kalau menurut saya spiritualitas bukan sebagai stabilisator, yang di sekunderkan. Karena 5 kebutuhan maslaw hanyalah satu petak nilai yang telah di berikan agama. Spiritualitaslah substansi dari perpsektif teori itu..

      salam..

      Hapus