Konsisten itu muatan ketetapan hati
Prinsip hidup yang menjaga kita

Manusia mempunyai kecenderungan psikologis dari SonoNya yang memang sudah menjadi naluri untuk selalu bergerak
dinamis. Dinamis dapat diartikan dengan dengan suatu gerak perubahan untuk
menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi sekitar. Hal tersebutlah yang
menjadikan manusia dari zaman purba sampai jaman reformasi infomasi yang gegap
gempita ini untuk selalu bertahan dari keadaan dan tekanan yang dihadapinya
untuk menciptakan penemuan-penemuan dan perubahan-perubahan dalam hidup manusia
itu sendiri. Perubahan itu bisa dalam cara perilaku manusia yang salah satu
faktornya adalah di awali terlebih dahulu dengan perubahan-perubahan gaya hidup
yang terkait dengan perubahan teknologi pendukung dalam kemudahan hidup manusia.
Dalam dinamika perubahan yang begitu cepat, mengharuskan setiap kita untuk
selalu mengubah paradigma berpikir dalam melihat diri kita sekarang dan masa
depan. Anda harus berbeda dan tidak boleh berpadangan seperti cara orang
memandang sesuatu hal di tahun 45. Jika ada orang yang masih mempunyai pola
pikir seperti itu, cepat-cepat akan kita muati dan kita stempel di jidat
sebagai orang kuno, orang udik, orang ndeso, orang kolot dan berbagai cap
lainnya. Kita sudah tidak memiliki waktu untuk mengukur dan menganalisa apakah
yang mereka pertahankan dalam hidup mereka itu baik atau tidak. Yang menjadi
ukuran bagi kita adalah, apakah mereka berpikir seperti kita. Berpikir seperti
kita itu parameternya sudah tidak lagi tentang baik atau buruk, bermoral atau
tidak, namun sudah mengalami dekadensi kualitatif dalam ukuran-ukurannya yang
ujung-ujungnya terjebak hanya kepada bagaimana model rambutnya berubah atau
tidak, punya ini-itu atau ga, ikut parpol ini atau tidak, ikut kumpulan motor
harley atau tidak dan macam-macam lagi.
Tubuh sejati konsistensi ikut terkubur oleh perubahan-perubahan macam itu.
Kita bisa mempunyai prinsip yang kita yakini kebenerannya, namun jangan heran
ternyata prinsip kita akan terkaget-kaget karena dianggap kolokan dan
ketinggalan jaman, sehingga secara malu-malu kita berputar haluan untuk
mengikuti arus kebenaran bersama. Kita menggebu-gebu untuk menjadi mencapai
suatu tujuan, namun dalam perjalanan itu ternyata harus menempuh perjalanan
yang terjal, mahluk kemanusian kita tidak cukup kuat. Ada iming-iming budaya
hedonistik mengepung kita, sehingga kita secara perlahan melangkahkan kaki
keluar daripada rel tujuan awal kita. Sisi pragmatis manusia menjadi alasan.
Dari sisi itu dapat kita simpulkan, bahwa membangun konsistensi itu harus
mau tidak mau membangun benteng dalam diri dari arus pengaruh eksoterik diri
kita. Membangun benteng tidak harus dengan menutup diri dengan menolak segala
sesuatu perubahan dalam hidup. Namun lebih dapat untuk menyakini bahwa setiap
inci hidup kita membutuhkan tujuan.
Bukateja, 14 Desember 2010