Jika anda datang bertamu ke rumah tetangga atau handai tolan, maka hal pertama yang anda lakukan pastilah memberi salam, mengetuk pintu dan menunggu si tuan rumah mempersilakan kita untuk masuk. Setelah di terima masuk, mestinya anda tidak langsung dan nyelonong ke dalam bilik privacy tuan rumah, namun duduk dan jagongan di tempat yang sudah di sediakan di ruang tamu. Itulah unggah-ungguh budaya secara universal di setiap negara dan komunitas masyarakat di belahan dunia manapun. Jangan anda datang bertamu di tempat orang dan langsung menuju ke-misalnya-ruang tidur atau ruang makan dan mengambil segala jenis makanan yang ada di dalam lemari es, kalau anda tidak ingin di kemplang si tuan rumah. Itu sudah menjadi tata krama yang telah disekati secara komprehensif antar lapisan masyarakat. Dalam masyarakat jawa biasa disebut budaya kulonuwun.
Rumah, adalah sebuah simbol yang merepresentasikan hasrat, keinginan dan kompleksitas masalah, baik psikologi, hukum, moral dan budaya. Anda menciptakan rumah pastilah di bagi-bagi dan tersekat-sekat antar dinding. Ini menunjukkan bahwa jiwa manusia memiliki beberapa sekat psikologis. Kapan dimana saatnya manusia butuh kesendirian, dimana saat kita butuh bersantai dan mengorol dengan sanak family kita. Rumah menyediakan akomodasinya dengan ruang-ruang yang sudah di desain khusus untuk jiwa kita.
Kemudian, dimana relasi dengan tema kali ini?
Manusia mempunyai kecenderungan dua wajah. Satu wajah yang ingin di tampakkan dan satu wajah yang ingin di sembunyikan. Ruang tamu, halaman, teras, taman merupakan simbol dari rumah untuk kita tampilkan dan kita tunjukan kepada orang lain. Untuk itu kita menambahi berbagai ornamen dan pajangan-pajangan agar lebih tampak segar dan hidup. Namun disisi lain kita juga mempunyai kamar tidur, ruang-ruang pribadi yang kemungkinan orang luar tidak dapat mengakses sampai ke dalam, karena hanya dikhususkan untuk konsumsi pribadi. Karena tidak semua dalam di dunia ini harus di tampilkan. Jika itu dilanggar, produknya adalah rasa malu karena hal yang seharusnya ditutupi ternyata telah di ketahui orang lain.
Budaya jawa dan bangsa Indonesia sejak dulu sangat terkenal dalam budaya malu dan menjunjung tinggi budaya unggah-ungguh-nya. Tutur katanya halus dan mempunyai segmen tingkatan bahasa yang tidak di miliki oleh budaya lain di dunia. Anda ngobrol dengan Nenek anda jangan anda samakan ngobrol seperti di warung kopi bersama handai taulan. Ada tata cara budaya jawa yang mengatur hubungan itu. Tidak seperti bahasa inggris yang hanya bisa ngoko kepada siapapun. Baik itu kepada ibu, bapak, nenek, sodara, teman, adik, atau kepada siapapun. Budaya egaliter dan tanpa tedeng aling-aling membuat budaya mancanegara lebih tidak punya malu kepada siapapun. Mereka telanjang, bermain seks di tempat umum, konvoi hanya memakai BH dan celana dalam, menggunakan bikini dan aksesoris yang—bukan untuk menutupi—namun lebih sebgai penegasan penelanjangan, dalam budaya mereka itu sudah biasa dan janganlah anda heran dan terkaget-kaget.
Justru anda harus kaget jika terdapat orang yang di besarkan dalam kondisi dan lingkungan budaya rasa malu yang tinggi tiba-tiba menjadi lebih tidak punya malu. Kadar tingkat rasa malunya pun sudah mencapai tahap yang paling akut kalau tidak boleh di bilang bebal. Pertunjukan parade ekshibisionis pacaran di tempat umum, hamil di luar nikah, korupsi penggerogotan nilai dan materi yang seharusnya milik rakyat. Dan berbagai kelakuan yang tidak sepantasnya seperti --masalah keluarga-- dipertontonkan kepada publik, malah sekarang jadi komoditas industri infotainment yang sangat laris dan berbiaya sangat mahal. Seorang koruptor berjalan tegak dengan bangga sambil melambaikan tanganya dan tidak menunjukkan rasa bersalah setelah bebas dari penjara dan– misalnya kembali lagi sebagai dosen atau pekerja pemerintahan lain— masih saja tetap di hormati dan di junjung tinggi.