oleh N. Gilang Prayoga
pada 13 Juni 2010 jam 20:39
Beberapa minggu terakhir ini, kalangan masyarakat pecinta infotainment di gegerkan dengan adegan mesum “mirip artis”. Dalam waktu yang singkat dan tidak lebih dari satu minggu, dua video berdurasi 6 menit dan 8 menit sudah menyebar di forum-forum internet dan dapat didownload siapa saja. Berbagai majalah, koran, televisi, berita online di internet sungguh tak habis-habis menganalisa, mengidentifikasi, memberikan komentar, bahkan banyak juga yang menghujat. Trafik pengguna internet meningkat drastis, rating infotainment melonjak sangat tinggi. Mereka sangat antusias untuk mendapatkan informasi tentang idola anak muda itu. Mereka berdebat, mereka terjebak di antara kebingungan informasi, percaya atau tidak percaya. Percaya karena dalam video pemainnya sangat mirip dan tingkat kemiripannya sudah mencapai 99&. Tapi di sisi lain banyak penggemar menjerit histeris dan tidak percaya kalau idola mereka yang mereka junjung-junjung tinggi sampai melakukan hal seperti itu. Tapi diam-diam mereka juga menikmati dan tidak sabar menunggu sekuel lanjutan dari petualangan cinta sang Don Juan mirip Nazril Ilham alias Ariel Peterpan yang konon katanya mencapai 32 buah dan mirip artis semua. Anda saya sarankan untuk tidak terlalu menuduh sebelum dapat dipastikan kebenarannya, kata seorang yang ahli yang mirip Pakar Telematika dengan sangat bijaksana.
Konon, orang Indonesia itu cenderung suka menuduh tanpa bukti, dan sangat percaya terhadap apa saja yang mereka dengar dan mereka lihat. Berbagai pertengkaran yang tiada habisnya baik dari kalangan elite pusat sampai urusan rumah tangga kadang bermula dari hal tuduh menuduh seperti itu. Kita punya tetangga yang bekerja biasa-biasa saja dan tidak memerlukan waktu yang lama ekonomi keluarga dan kekayaannya menjadi berlipat lipat. Bisa membeli perabotan, membangun rumah yang rumah kita sendiri sangat jauh ketinggalan, punya kendaraan yang kita tidak punyai. Karena kosmos kita adalah tidak percaya, maka kita hembuskan ke masyarakat dan tetangga yang lain bahwa si Anu memelihara tuyul, gendruwo, jin atau punya pesugihan di Gunung Kawi, Gunung Kemukus. Tetangga sekitar percaya dengan apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Maka berbondong-bondonglah mereka membakar rumah sang tersangka pemelihara tuyul tersebut.
Lain lagi dengan cerita seorang pencopet yang salah sasaran. Gerombolan orang berlarian mengejar copet pasar yang mengambil tas seorang ibu. Sang copet menggunakan baju merah dan menggunakan jins. Kejar-kejaran pun terjadi. Sang copet ternyata sangat gesit berlari (mungkin dia sudah berlatih ilmu berlari tingkat tinggi, yang secara alamiah harus dia kuasai untuk melarikan diri ). Di tikungan gang depan, sang copet berkelabat masuk mengubah arah secara berputar untuk mengelabui para pengejarnya. Para pemburu copet pun merasa kehilangan jejak (demikianlah kisah ini mengambil plotnya sendiri). Saat itu munculah, seorang dengan baju yang sama merah dengan menenteng tas plastik, hasil belanjaan di pasar. Karena mereka lihat orang itu mirip copet, tanpa ba bi bu, di kejarnya orang tersebut dan dipukulinya tanpa ampun sampai babak belur. Sampai datanglah ibu yang kecopetan tadi dan memastikan orangnya yang digebuki itu. Dan ternyata ibu yang kecopetan menyatakan bahwa orang itu bukan pencopet, namun hanya mirip dengan pencopet karena baju yang mereka kenakan mirip. Tapi sudah terlambat karena orang yang mirip copet itu sudah hancur babak belur.
Cerita-cerita di atas bukan karangan fiksi atau rekayasa. Tapi memang sungguh terjadi dan bahkan menjadi santapan gosip kita sehari-hari. Konon katanya menjadi tema yang sangat asik yang diperdebatkan ibu ibu kumpulan RT, bapak-bapak di gardu poskamling, anak-anak muda di pertigaan warung dan siapapun. Masyarakat Indonesia tidak mempunyai wawasan untuk melihat sebuah tema dan masalah dari sudut pandang ilmiah, sangka baik, atau riset dengan seksama sebelum mengeluarkan statement. Budaya superfisial sangat menonjol dan dijadikah ukuran penilaian seseorang, lembaga, kegiatan, atau apapun.
Namun seringkali, masyarakat juga tidak bisa disalahkan karena menjadi sangat terlalu percaya dan menuduh tanpa bukti. Tercermin dari kasus Ariel, Luna dan Cut Tari ini, tertuduh tidak segera mengkonfirmasi kepada khalayak publik, apakah benar atau tidak benar. Jika mereka sudah mengkonfirmasi dan membuktikan dengen analisis fakta, data bahwa itu hanya mirip dan bukan mereka. Masalah ini akan selesai dan tidak berlarut-larut. Tapi entah dengan dasar dan alasan yuridis yang bagaimana, mereka tidak segera mengkonfirmasi dan bahkan ditinggal kabur. Semoga saja nasib Ariel tidak seperti kisah pencopet dan pemelihara pesugihan itu dan di tawur oleh seluruh masyarakat Indonesia.
****