
Salah
satu peran pelaku yang selama ini di pandang penting namun terlupakan adalah
KPMD. Kader Desa yang di bentuk PNPM yang mengemban tugas dalam hal
memfasilitasi segala mediasi, konsultasi, evaluasi dan monitoring terhadap
kegiatan PNPM di desa tersebut dengan supervise dari Fasilitator Kecamatan. Singkat
kata KPMD adalah pengendali pelaksanaan program di Desa untuk memastikan bahwa
kegiatan program berjalan sesuai dengan prinsip dan prosedur PNPM, meskipun
dalam beberapa hal kewenangannya di batasi. Yaitu hanya
dalam soal pencairan dana proyek PNPM saja tidak memerlukan KPMD. Karena
pencariran dana mutlak di sertifikasi langsung oleh Fasilitator. Meskipun tidak
di larang apabila KPMD memberikan rekomendasi kepada Fasiliator kaitanya dengan
pelaksanaan kegiatan desa.
Namun dalam banyak tahapan
lain, peran-peran KPMD memegang posisi strategis untuk mengawal kegiatan
PNPM. KPMD lah agent culture of change yang sejati di
desa. Dalam perjalanan program, peran KPMD di nilai belum
memberikan kontribusi secara maksimal dalam proses pemberdayaan masyarakat di
Desa. KPMD hanya
terbatas sebagai tangan panjang FK untuk membuat proposal usulandan tugas administrative
yang lain saja. Amat jarang di temukan Fasilitator, membimbing para kader
dengan nilai-nilai pemberdayaan. Karena memang nilai pemberdayaan itu tidak ada
sekolahnya. Harus di landasi dengan moral dan nurani. Bila nilai
pemberdayaan tidak di landasari dua nilai tersebut, sangat memungkinkan untuk
terpeset menjadi proyek pengeruk keuntungan belaka.
Tidak mengecilkan peran KPMD
dan mungkin ini hanya bersifat kasuistik saja, bahwa secara umum pemahaman KPMD
hampir tidak memiliki peran apa-apa di Desa. Kecuali sebagian besar pekerjaanya
hanyalah datang ketika Rakor KPMD untuk menerima transport dan menghadiri
Musdes yang ada. Datang dan duduk saja mendengarkan. Padahal di PTO pun
tercantum bahwa yang memfasilitasi musyawarah adalah KPMD. Fasilitator hanya
memfasilitasi pada saat Musdes Sosialiasi. Tapi kembali lagi bahwa dominasi
fasilitator yang sangat tinggi membuat desa, KPMD atau pelaku yang lain sangat
tergantung kepadanya. Bahkan ada rasa kalau Musdes atau kegiatan lain tidak di
dampingi dan di arahkan fasilitator merasa takut salah dan rasa minder lainnya.
Bila kasus yang ini, yang harus di jewer pertama kali adalah fasilitatornya
yang kurang memberikan bimbingan, peluang dan kepercayaan untuk para pelaku
berkembang. Meskipun tetap harus tetap ada pendampingan dan evaluasi untuk
memastikan tahapan tidak keluar dari prinsip program.
Setiap kali saya menghadiri
Musdes, banyak masyarakat yang mengeluh menyampaikan kepada saya,” sulit
sekarang mas, cari orang yang mau menjadi berjuang bagi desa yang tidak
mendapatkan apa-apa.” Ada lagi yang juga mengatakan,”mencari orang yang kober (punya waktu) untuk mengurusi desa
sudah jarang mas. Mereka lebih memikih mencari pekerjaaan di tempat lain
daripada mengurusi desa namu tidak mendapatkan apa-apa. Yang anak muda tidak
perduli dengan pembangunan desanya, yang pintar rata-rata sudah bekerja di luar
kota, tinggal hanya yang tua-tua yang sudah phase-out.”
Sehingga yang terjadi adalah ketika proses
pemilihan KPMD terpilih orang-orang seadanya yang hanya sebagai penggugur kewajiban
saja. Apakah calon
KPMD itu punya kompetensi atau tidak bukan merupakan hal yang memusingkan. Yang
penting Desa mendapat proyek PNPM.
Namun
di sisi lain, seperti yang tercetus dari ungkapan teman yang menyampaikan
aspirasinya dari grup Facebook, yang terang-terang kecewa karena hanya
mendapatkan transport yang minimalis, sehingga ia tidak mau lagi menjadi kader
desa kembali. Banyak KPMD juga membandingkan pendapatanya dengan TPK misalnya.
Mereka menganggap itu tidak adil. Sehingga banyak juga yang menuntut untuk
memberikan kompensasi yang pantas bagi KPMD.
Terus
akan seperti apa menyikapi hal ini? Saya sih secara pribadi tidak keberatan kalau umpamanya KPMD
dapat gaji atau setidaknya kompensasi yang wajar. Jangankan KPMD, kalau perlu
pak RT juga boleh untuk di usulkan. Karena kalau pemikiran kita adalah
membangun desa sendiri tidak mendapat kompensasi, ya itu penerapanya jangan
berlaku hanya pada wilayah desa saja, Namun coba kembangkan ke wilayah lain
yang lebih luas, Misalnya sering ada pernyataan "Buat kader desa, tak
usahlah fokus pada Rupiah, ibarat bangun rumah sendiri (desamu!), masak bangun rumah sendiri minta
gaji/honor,....” Sering terpaksanya saya sendiri sering bilang, bila
memang bahasanya seperti itu saya sih setuju saja. Namun coba di kembangkan
lagi bahasanya, umpamanya kader desa di ganti dengan Presiden, DPR, Gubernur, Bupati,
Kades dlsb. 'Buat para Presiden, tak usahlah fokus pada Rupiah, ibarat bangun
rumah sendiri ( Negaramu!) masak bangun negaramu minta gaji/honor. Silahkan
yang lain di teruskan sendiri.
Seperti halnya Pendamping Lokal (PL), KPMD pewaris ilmunya pemberdayaan
di desa. Dialah yg nantinya akan jadi ujung tombak konsultasi, monitoring,
evaluasi, mediasi dlsb yang tidak hanya untuk PNPM saja namun juga untuk program-program
yang lain. Pengawal prinsip, prosedur dan pengusung
misi pemberdayaan. Bila desa ingin berdaya salah satu
indikatornya adalah kemampuan KPMD dalam fasilitasi di desa. Tanpa kerja KPMD,
PNPM menjadi sekarang ini yaitu hanya terjebak kepada Proyek semata namun lepas
esensi pemberdayaannya.
So. Saya sih setuju saja dan
umpamanya mendukung adanya gaji KPMD, namun juga di pastikan bahwa kualitas
KPMD juga bisa di pertangunggungjawabkan. Sehingga jangan ada lagi nada-nada
minor yg menuduh KPMD hanya sebagai pelengkap program, mau transportnya tapi
tak mau kerjanya. Hanya datang ketika rakor KPMD dan hanya jadi peserta Musdes,
tapi lupa denga misi yang harus di kawalnya. KPMD pun harus berubah serta mampu
menunjukkan kapasitas dan buktinya kepada masyarakat juga program. Dan jangan lupa
bahwa di tangan KPMDlah nilai pemberdayaan di desa ini nanti akan di titipkan.
Gilang Prayoga
Bobotsari, 07 April
12.52 WIB