Pelaksanaan PNPM Mandiri selama sejak tahun 2007, di
nilai cukup positif dalam menanggulangi kemiskinan yang ada di
Indonesia. Melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat yang
mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah mufakat, PNPM mampu memberikan
ruang pembelajaran dalam pengambilan keputusan yang demokratis. PNPM
sendiri di rencanakan akan selesai pada tahun 2014. PNPM Sendiri
seperti yang kita terdiri dari berbagai macam program seperti PNPM
Mandiri Perdesaan, PNPM Perkotaan / Program Pegembangan Kecamatan
Perkotaan (P2KP), PNPM Generasi, PNPM Paska Bencana, PNPM Paska Krisis,
PNPM Integrasi, PNPM PISEW, PNPM Pariwisata dan lain sebagainya.
Timbul pertannyaan dari kita, lantas akan ada program apa sebagai
pengembang dan penerus dari PNPM? Pihak depdagri menyatakan bahwa akan
ada kelanjutan dari program PNPM yang system dan mekanismenya tidak
terlampau jauh berbeda dengan PNPM. Meski belum di putuskan apakah masih
menggunakan nama PNPM kembali ataukah ganti baju dengan nama yang
lain.
Jawaban atas pertanyaan itu sedikit terungkap, saat saya membaca status
Facebook dari Deputi Kemenkokesra, Sujana Royat yang menyatakan bahwa
akan lahir generasi baru dari PNPM yaitu PNPM Pusaka.
Menurut beliau, PNPM Pusaka diharapkan dapat mendorong
kelompok-kelompok masyarakat peminat kebudayaan lokal untuk mencintai
dan melestarikan budaya, adat istiadat, kuliner, seni dan tata krama
budaya lokal dan menerapkan dalam kehidupannya menjadi lebih berbudaya
(culturally vibrant), dan akhirnya bila ini bisa dilakukan di semua
tempat maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat kembali,
bukan pengejar materi dan kekuasan dan sering di adu domba dan
dimanfaatkan oleh berbagai kelompok kepentingan.
PNPM Pusaka rencananya akan di luncurkan serempak di berbagai kota
bulan Agustus setelah Hari Peringatan Proklamasi Kemerdakaan Indonesia
untuk menjadi gerakan nasional untuk mencintai budaya lokal. Aspek yang
di sentuh dalam PNPM Pusaka adalah dimensi ketiga dari kemiskinan
yaitu kemiskinan budaya, akhlak dan tata krama. Setelah sebelumnya
dimensi kemiskinan harta dan kemiskinan ilmu, yang telah di sentuh
melalui PNPM Mandiri.
Mungkin akan saya kutip status Facebook Sujana Royat yang di tulis pada awal bulan Mei 2012.
“Setelah bangsa ini terpecah belah oleh partai politik, pemekaran
wilayah dan radikalisme di bidang agama dan etnis. Maka sudah waktunya
bangsa ini direkatkan lagi dan di persatukan lagi melalui budaya.
Kebudayaan adalah perekat bangsa. Semua kelompok masyarakat harus
kembali ke akar tradisi dan budaya lokalnya. Kebudayaan nasional adalah
puncak puncak kebudayaan lokal. Masyarakat harus memelihara budaya
lokal dan melestarikannya. Ini intinya PNPM Pusaka, siapa saja yang
mencintai budaya, seni dan potensi kekayaan alam saujana / landscape
bisa bergabung dalam upaya ini. Rekatkan bangsa melalui budaya!”
Dari komentar singkat kami, sebagai praktisi pemberdayaan, saya sungguh
merasa mempunyai harapan yang tinggi terhadap program PNPM Pusaka ini.
Saya hanya membayangkan kira-kira akan seperti apa mekanisme,
prosedur, juknis dan terapan pelaksanaan di masyarakat. Dan reksi apa
yang timbul di masyarakat. Apakah senang, antusias, ataukah acuh saja.
Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat desa atau di pinggirian urban
(bagi pemanfaat dana P2KP) apalagi untuk PNPM Mandiri Perdesaan, banyak
sekali anggapan yang menilai bahwa PNPM adalah “banyak uangnya”.
Masyarakat ingin berpartisipasi dalam PNPM jelas di sana menjanjikan
“gula-gula” proyek yang cukup besar. Dengan kondisi pembangunan
infrastruktur perdesaan yang belum merata, menjadikan PNPM di
perebutkan dengan sangat gaduh dan seringkali melalui cara-cara
intimidatif. Proses Musyawarah Antar Desa (MAD) sebagai forum tertinggi
di tingkat kecamatan di pakai bukan untuk mencari solusi atas
permasalahan-permasalahan mereka se-kecamatan, namun di persempit
dengan nafsu mendapatkan dana proyek bagi desa mereka masing-masing.
Dan memang tidak bisa di salahkan ketika masyarakat berkehendak
demikian. Gelombang arus bawah dari masyarakat, menjadikan nilai-nilai
dan prinsip program menjadi mengambang dan hanya di jadikan emblem
administratif.
Di balik kesuksesan program, sebaliknya terdapat pula fenomena faktual
yang berkembang di masyarakat. Kita ambil contoh. Bahwa tidak dapat
kita pungkiri bahwa kualitas proses dan partisipatif masyarakat
cenderung mengalami grafik penurunan. Masyarakat yang menghadiri
musyawarah baik di desa dan kecamatan telah merasakan kecenderungan
bosan dengan banyaknya rapat yang ada di PNPM. Ujungnya adalah ketika
mereka menghadiri Musyawarah Antar Desa (MAD) yang hakikatnya adalah
berjuang bagi desa mereka sendiri untuk mengakomodir hak, usulan dan
merupakan bentuk partisipasi demokrasi, rata-rata mereka menghendaki
adanya transport yang di bebankan dari pihak desa. Kalau tidak ada
transportnya mereka tidak mau berangkat. Contoh lain adalah proses
pemilihan pelaku PNPM seperti Unit Pengelola Keuangan (UPK) banyak di
warnai dengan nuansa politis yang kental. Yang membuat para calon UPK
melakukan manuver-manuver yang terkadang tidak sehat dan menodai
prinsip-prinsip PNPM itu sendiri.
Kita ini sudah menjadi manusia Indonesia yang berjuang bukan untuk
kepentingan bersama, tapi sudah terkotak-kotak hanya untuk pribadi,
golongan, institusi, lembaga. Musuh kita sebenarnya adalah uang, yang
kita perebutkan dengan berbagai cara tanpa peduli saudara, kerabat atau
apapun. Kenikmatan bergotong-royong telah di gantikan dengan kenikmatan
materiil. Adapun data-data kesuksesan yang tertampil dalam
lembar-lembar laporan kita adalah data administratif yang tidak cukup
dan bahkan tidak mampu menggambarkan wajah program pemberdayaan ini
secara komprehensiif. Wajah itu terlihat parsial tergantung dari sisi
mana kita melihatnya.
Namun dengan adanya rencana kelahiran PNPM Pusaka, sedikit banyak
memberikan harapan yang baru. Ketika manusia tidak mengenal budaya,
tidak mengapresiasi seni, tidak menyukai keindahan sesungguhnya dia
telah menolak hakikat sejati dirinya. Manusia dengan perwujudan akal
dan budi, mampu melahirkan ragam kebudayaan yang membuat manusia itu
merasa manusia. Yang terjadi sekarang adalah manusia tidak melihat dia
sendiri menjadi manusia, namun lebih melihat apakah dia Konsultan,
Bupati, Direktur, tukang ojek, petani atau apapun saja. Manusia menjauh
dari sifat sejati manusia. Ketika manusia sudah tidak berlaku sebagai
manusia maka apa yang disampaikan Sujana Royat menjadi nyata “ terpecah belah oleh partai politik, pemekaran wilayah dan radikalisme di bidang agama dan etnis. Dan tantangan tersebut mau tidak mau harus di hadapi oleh PNPM Pusaka.
Meskipun saya masih meraba-meraba bentuknya akan seperti apa. Karena
bagaimana menilai budaya. Bagaimana menghitung budaya secara
kuantitatif? Namun, setidaknya akan ada hembusan angin segar dengan
hadirnya PNPM Pusaka. Meskipun tantangan ke depan masih membayang,
namun setidaknya patut di apresiasi dan di dukung dengan sepenuh hati.
Gilang Prayoga*
Bobotsari
22 Mei 2012