
Dari latar belakang itulah maka saya
sedikit ingin mempertanyakan teori kebutuhan yang di perkenalkan oleh Abraham Maslow.
Bukan berarti saya lebih pintar dari beliaunya. Dan bukan berarti saya memiliki
teori yang melebihi teorinya. Namun ini hanya sebuah tangkapan atas
pandangan-pandangan pribadi saya. Dan tidak bisa di pastikan bahwa saya juga
benar seratus persen. Silahkan di koreksi bila ada yang salah.
Teori maslow merupakan salah satu
penjabaran untuk mempelajari tentang perilaku manusia untuk mencapai kebutuhannya. Gagasan
kebutuhan manusia itu di jabarkan dalam piramida 5 tingkat. Yang pertama atau tingkat paling bawah adalah kebutuhan fisik
(Physiological Needs) yang menjelaskan tentang kebutuhan dasar manusia yang
bersifat fisik. Yaitu bahwa manusia harus terpenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya seperti kebutuhan sandang, pangan, papan. Kebutuhan ini di pandang
sebagai kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi karena apabila tidak terpenuhi maka akan terjadi
keadaan yang sangat ekstrim yang menyebabkan manusia yang bersangkutan
kehilangan kendali atas perilakunya sendiri. Pabila kebutuhan dasar ini sudah
terpenuhi maka akan muncul kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan
rasa aman (Safety Needs).
Kebutuhan
akan rasa aman mendefinisikan kebutuhan tentang rasa aman yang berhubungan
dengan perlindungan jaminan keamanan, stabilitas system yang dapat
menghindarkan manusia dari rasa cemas, khawatir dan sebagainya. Di tingkat
selanjutnya terdapat kebutuhan di cintai dan di sayangi (Love and Belongingness
Needs ), yang ke empat kebutuhan Harga Diri (Esteem Needs) dan puncaknya adalah
kebutuhan aktualisasi diri (Self Actualization Needs).
Mari
kita kupas lebih dalam dari satu perspekstif untuk kita kaitkan dengan
kehidupan kita sekarang. Apakah kebutuhan aktualisasi diri menjadi kebutuhan
puncak yang memastikan bahwa bila kebutuhuhan itu terpenuhi maka manusia akan
mendapatkan bahagia?
Kita
ambil salah satu contoh, misalnya artis. Secara kasat mata jika kita lihat maka
seorang artis tenar dapat di kategorikan telah memenuhi segala persyaratan
dalam teori kebutuhan Maslow. Pemenuhan kebutuhan fisik yang melimpah, rasa
aman, di puja-puja seantero negeri, memiliki harga diri dan pastinya juga
memiliki aktualisasi diri. Bila teori benar adanya, maka coba kita kaitkan
dengan maraknya kasus bunuh diri yang banyak terjadi di korea, jepang ataupun
di Negara-negara yang lain. Kasus Kurt Cobain, Jim Morrison, Janet Joplin, Brian
jones sampai Elvis Prasley dan banyak kasus artis lain yang serupa membuka mata
kita, bahwa terpenuhinya piramida teori maslow belum menjadi jaminan bahwa
manusia dapat hidup bahagia. Kalau
memang benar adanya teori tersebut, seharusnya manusia yang telah mencapai
kebutuhan puncaknya tidak akan pernah mati bunuh diri secara konyol. Lalu, sesungguhnya
kebutuhan apalagi yang hilang?
Selanjtunya
coba kita sejenak untuk beralih memandang kepada wajah Indonesia dewasa ini
untuk mencari pembandingnya Secara umum masih banyak rakyat yang tidak mendapatkan hak-hak
dasar baik perumahan, sandang maupun papan. Data BPS menunjukkan kurang lebih
30 juta rakyat Indonesia di bawah garis kemiskinan dengan kemampuan pengeluaran
sebulan hanya sebesar Rp 271.000,-. Golongan hampir miskin malah mungkin lebih
besar itu dan bahkan mendominasi data kependudukan.
Gelandangan, anak terlantar, pengemis memenuhi jalan-jalan raya ibukota dan
bahkan mungkin hidup kita tidak begitu jauh dari mereka karena sesungguhnya
dalam banyak hal kita juga masih kekurangan hak dasar. Namun kita tengok
saja dengan perilaku bangsa besar ini. Negara ini menjadi negara pengimpor
terbesar, segala produk yang di jejalkan ke Indonesia di jamin pasti laku.
Kerjaannya tiap hari hanya melihat goyang dangdut, acara-acara yang nuansanya
adalah tertawa terbahak-bahak. Bangsa yang sangat peramah, karena selalu menebarkan
senyum kepada semua orang. Meskipun secara lahiriah dari segi ekonomi dan
pemenuhan hak dasar rakyat Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara maju
yang lain, namun kadar gembiranya orang Indonesia tidak pernah tertandingi di
manapun. Acara-acara lawak, dangdut koplo, musik-musik pop kacangan, menjadi
bagian pokok dari segala hidup manusia Indonesia. Karena hanya acara itulah
yang mungkin menawarkan kegembiraan. Sehingga kualitas gembira rakyat indonesia
jauh lebih tinggi daripada negara-negara yang lain. Artinya meskipun dalam
beberapa hal rakyat Indonesia belum mendapatkan kebutuhan seperti dalam teori
Maslow tersebut, nyatanya penduduk Indonesia banyak bergembira ria dengan tidak
memusingkan kehidupan mereka. Dengan artian, sanggup tahan melihat ketimpangan,
kecurangan yang terjadi atas penyelenggaraan negara ini yang semakin
mempersulit hidup mereka. Bangsa Indonesia ini hanya geger ketika harga BBM
naik.
Sedangkan Amerika dan Eropa panik
serta kalang kabut menghadapi ancaman krisis ekonomi, krisis energi. Banyak
perusahaan yang colaps dan mau tidak mau mem-PHK-kan secara massal karyawannya.
Sehingga yang terjadi adalah tingkat bunuh diri masyarakatnya naik secara
signifikan, karena mereka tidak mampu melihat masa depan apabila mereka telah
di pecat dari perusahaannya.
Kebutuhan Spiritual
Namun
ternyata ada kebutuhan yang di luar frame tersebut. Kita ambil salah
sati contoh yaitu perang memperebutkan tanah suci Yerussalem antara Israel dan
Palestina. Banyak konflik yang terjadi di dalamnya yang melibatkan suku, ras,
sejarah nenek moyang sampai keyakinan agama. Kalau benar teori maslow, harusnya kita tidak usah
pusing-pusing dong dengan urusan seperti itu. Mau perang, mau rebutan minyak,
mau menghancurkan tempat ibadah, mau menghina nabi, menjelek-jelekkan keyakinan
agama lain tentu tidak menjadi kebutuhan bagi penganut teori Maslow. Namun ternyata,
ada sisi internal manusia akan kepercayaan terhadap sesuatu yang ghaib. Sesuatu
yang mereka imani yang bernama agama atau kesadaran spiritual. Agama telah di
pandang menjadi kebutuhan pokok bagi manusia, sehingga harus di pertahankan
dengan segala daya upaya. Di Barat, agama yang pada pertengahan abad 19 di
yakini hanya akan menjadi bagian marginal dari kebutuhan manusia mendadak
runtuh seiring mengelupasnya ideology kapitalisme dan liberalisme yang semakin
tidak mampu menjawab kebutuhan elementer karena menciptakan kesenjangan dan
ketimpangan yang luar biasa ekstrim antar manusia. Uni soviet hancur karena
masyarakatnya menuntut hak-haknya untuk menjalankan agama. Walhasil
tidak aneh apabila beberapa decade terakhir ini, semakin banyak tumbuhnya kebutuhan
spiritual di Negara-negara Eropa dan Amerika. Sehingga tidak mengherankan pula jika kitab suci menjadi
buku yang paling laris di beli.
Kalau hanya mengacu kepada Teori
Maslow, tidak pernah ada tercantum kebutuhan spiritual atau agama disana. Padahal
yang mereka diskusikan dan perdebatkan dari teori maslow itu adalah sebagian
petak kecil dari yang namanya agama.
Fenomena yang terjadi saat ini,
sedikit banyak harus mempertanyakan relativitas teori kebutuhan Maslow. Apabila
sebuah teori tidak mampu menjawab realitas ilmiah yang terjadi, sesungguhnya ia
telah gagal menjadi teori. Namun bila sekadar teori itu saja mampu di percayai
oleh sebagian besar akademisi dunia, kenapa pula mereka tidak mampu menerima
agama sebagai landasan dasar ilmu pengetahuan dan sebagai penjawab esensi kebutuhan
dari manusia.
Gilang
Prayoga
Bobotsari,
06 April 2012
15.08
WIB
ga sengaja baca blognya awal nya cuman cari cari teori maslow nemu ini. sip keren coy blog nya ! keep posting.
BalasHapusMakasih sudah mampir...
Hapuskalo berkenan monggo bisa mampir di blog saya disini :
www.gilank18.wordpress.com
karena di blog itu sya sering posting. Kalau disini sudah lama belum saya update.
Bagaimana anda bisa pastikan klw Kurt Cobain, Jim Morrison, Janet Joplin, Brian jones, Elvis Prasley dan artis lain tidak memiliki spiritualitas? Jika seandainya semua orang yang anda sebutkan atau beberapa saja diantaranya memiliki spiritualitas, maka secara otomatis anda menggagalkan teori “kebutuhan spiritual” anda sendiri.
BalasHapusKedua, saya rasa anda juga salah mengambil kesimpulan. Sebenarnya semua tokoh yang anda sebutkan yang anda katakan semua kebutuhan “winslow”nya terpenuhi tapi tidak merasa bahagia dan bahkan sampai bunuh diri terlalu anda generalisasi. Misalnya saya ambil segmen “kebutuhan akan kasih sayang” dari teori winslow. Semua artis atau tokoh yang anda sebutkan memang sangat banyak orang yang menyayangi dan mencintai dia, secara dia orang terkenal. Namun bagaimana klw orang yang dia sayangi dan cintai sendiri tidak menyayanginya? Maka itu bisa menjadi pemicu ketidakbahagiaannya. Jadi, jangan Cuma tinjau berapa banyak org yg menyayangi dia,tapi tinjau juga brp bxk yg tdk menyayangi dia, especially siapa? Namun, bkn berarti sy mngatakan harus semua orng menyayangi dia lalu segmen “kasih sayang” winslow menjadi sempurna, melainkan ketika 0 orng yg membenci dia (tidak membenci, bkn berarti menyayangi ya, bisa jadi “tidak peduli) , dan orng yang dia harapkan menyayanginya secara actual menyayanginya, baru segmen “kasih sayang” menjadi “sempurna”.
Hal ini juga menurut saya berlaku untuk bebrapa segmen kebutuhan “Winslow” yg lain yaitu harga diri dan actualisasi diri.
Tha last, bagaimana menurut anda jika sya berkesimpulan, spiritualitas hanya berfugsi sebagai “stabilisator” dimana ketika seseorang tidak mampu memenuhi 5 kebutuhan “winslow”nya secara “sempurna”, maka disitu spiritualitas berfungsi sebagai stabilisator (semacam penenang), dengan kata lain jika ke5 kbtuhan winslow terpenuhi secara “sempurna” maka tidak dibutuhkan “stabilisator” lagi??
wah maaf ya baru sempat balas...baru sempat buka blog ini lagi...
HapusOke coba kita akan diskusikan satu persatu ya..
1. Mari kita bincangkan spriritualitas disini, bermakna sebagai "rasa ketuhanan dan mempercayai sesuatu yang gaib yang di luar kendali manusia dan kita butuhkan untuk menjaga ketentraman dalam diri kita."...saya tidak menyampaikan mereka tidak mempunyai spiritual. Hanya yang saya maksud, bahwa pandangan spiritual (agama) "mungkin" belum menemukan esensi agama bagi hidp mereka.
2.Jawaban nomor 2 ini sebenarnya juga harus kita gali lagi tentang makna agama bagi tawaran kehidupan kita. Kalau dalam teori agama, "apa yang mungkin kita rasakan sebagai kesedihan bagi ukuran pandangan manusia, belum tentu berlaku bagi pandangan tuhan kepada kita."
3. Kalau menurut saya spiritualitas bukan sebagai stabilisator, yang di sekunderkan. Karena 5 kebutuhan maslaw hanyalah satu petak nilai yang telah di berikan agama. Spiritualitaslah substansi dari perpsektif teori itu..
salam..