Perang minyak telah di tabuh. Demo kenaikan Bahan Bakar Minyak
(BBM) serentak dilaksanakan di kota-kota besar Indonesia, yang di prediksi akan
memuncak pada hari Selasa (27/3) bersamaan dengan rapat paripurna DPR.
Gelombang penolakan rakyat atas rencana pemerintah itu telah membuat apa yang
di sebut para ekonom sebagai multiplier effect. Sebelum kenaikan harga BBM di
yang akan di tetapkan per tanggal 1 April 2012 telah di dahului oleh harga-harga
kebutuhan pokok yang membumbung tinggi. Para mahasiswa kembali turun ke jalan,
menggalang massa untuk menyuarakan penentangan kenaikan BBM. Mereka mengadakan
koalisi dengan seluruh rekan se-Indonesia dengan di dukung oleh ormas,
lembaga-lembaga independent, dan berbagai macam elemen yang memiliki visi yang
sama. Setelah sebelumnya dilakukan beberapa demo secara parsial dan sporadic di
Indonesia, mereka telah merencanakan unjuk rasa kembali secara massive yang
akan di pusatkan di depan gedung DPR.
Menyikapi
hal tersebut Pemerintah sigap untuk menghadang rencana “perang” massa itu
dengan memerintahkan POLRI dan TNI untuk menjadi garda depan. Meskipun
menjadi problematic sendiri ketika TNI harus turun tangan mengamankan para
pendemo. Banyak pihak menilai pengerahan TNI tidak sesuai dengan fungsinya.
Yang seharusnya berfungsi untuk menjaga atau mengamankan kedaulatan NKRI dari
pihak asing, ini malah di hadapkan kepada rakyat sendiri. Dan yang terjadi
adalah benturan yang berujung kekerasan. Meskipun ada nada-nada sumbang bahwa
itu terjadi karena ada provokasi, karena di tekan duluan atau apapun saja. Namun yang pasti, moment
tersebut membuat kepercayaan publik kepada pemerintah SBY merosot tajam.
Pertanyaannya adalah apakah mengemukakan ketika rakyat mengemukakan pendapatnya
lantas sudah mesti dituduh subversif? Apakah ketika melaksanakan demonstrasi,
sudah di curigai akan melakukan perusakan-perusakan atau penjarahan massal. Ataukah
merupakan ketakutan penguasa negeri ini akan terjadinya demonstrasi seperti
1998.
