S
|
Term
pemberdayaan, menjadi populer ketika dalam sebuah survei dan penelitian ilmiah
yang di dasarkan pada Human Development
Index (HDI) menampilkan bahwa index manusia Indonesia rata-rata masih
tergolong menengah di antara negara-negara lain di dunia. Masih jauh di bawah
negara-negara maju di eropa dan Amerika. Namun sedikit lebih baik di atas
negara-negara Afrika yang hanya memilki lautan gurun pasir saja. Bandingkan dengan Indonesia, yang memiliki sumber daya
yang melimpah ruah namun masih saja miskin. Bahkan
masih kalah dengan negara serumpun Malaysia dan ironisnya kalah juga dengan
negara “kecamatan" Singapura.
Dari
itulah, di tarik benang merah penyebab masalahnya. Dan salah satu yang menjadi
faktor (katanya) adalah
ketidakberdayaan masyarakat Indonesia yang mencakup ketidakberdayaan ekonomi,
sosial dan politik. 30 Tahun di bawah rezim yang represif, membuat masyarakat
Indonesia, gagal dalam menghadapi arus modernisasi yang datang menyerbu bagai
air bah bergulung-gulung. Rakyat Indonesia, tidak benar-benar bisa memahami,
mengetahui keunggulan sumber daya lokal maupun potensi yang luar biasa ini.
Untuk itulah maka, diperlukan pendobrak kejumudan cara berpikir masyarakat
untuk membawa masyarakat indonesia menjadi kondisi masyarakat yang berdaya.
Maka disebarlah, orang-orang pilihan. Mempunyai
kualifikasi dan pengalaman dalam hal pemberdayaan masyarakat. Strateg ulung yang
mampu mengakomodir semua pihak, mampu di terima di semua tingkatan dan golongan
serta selalu aktif mencurahkan energi, fikiran untuk masyarakat, sanggup
menjadi pelayan masyarakat. Mempunyai ketrampilan teknis dan pengetahuan yang
dapat di berikan untuk kemajuan masyarakat. Bahkan kalau perlu pantang makan
bila rakyat belum makan. Tidak akan bisa tidur nyenyak bila masyarakat belum memperoleh
hak-haknya. Pokoknya segala yang memenuhi arasy
otaknya adalah tentang masyarakat. Mereka menyandang amanah selayaknya wali
atau nabi utusan Tuhan yang bertugas membawa manusia dari jaman jahiliyah atau kebodohan
menuju jaman “kepintaran”. Sehingga idealnya seorang pemberdaya masyarakat
adalah seorang yang memang benar-benar berdaya dan sanggup mengatasi segala
ketidakberdayaan. Karena tidak logis apabila seorang yang tidak berdaya akan
sanggup mengatasi ketidakberdayaan di luar dirinya. ”Ngurus awake dewe wae gak iso kok meh ngurus wong liyo”.
Pemberdaya masyarakat menyandang amanah yang sangat
berat. Di serang dari bawah dan di tekan dari
atas. Kondisi masyarakat yang masih mualaf
dalam hal demokrasi, merupakan tantangan yang tidak ringan. Cerita tentang
seorang fasilitator yang di intervensi, di ancam baik secara verbal maupun
fisik, sudah merupakan makanan sehari-hari yang harus dihadapi. Seorang pemberdaya masyarakat sesuai dengan
yang telah di amanahkan oleh MDGS (Milenium
Development Goals) harus dapat mengurangi kemiskinan di wilayah tugasnya
masing-masing. Meskipun agak sedikit kurang masuk akal, bagaimana mungkin hanya
dengan pemberian bantuan 1 milyar s.d 3 milyar, dapat langsung mengubah
masyarakat menjadi berdaya. Lha wong
yang tiap tahun diberi dana bantuan saja belum tentu masyarakatnya tiba-tiba
menjadi sejahtera. Namun karena itu sudah merupakan tugas dan tanggung
jawabnya, pemberdaya masyarakat mau tidak mau tetap harus sanggup dan siap
dalam melaksanakan tugas mulia ini.
Mungkin
karena dirasa sebagai seorang yang harus multi talented, agent culture of change, pendekar mumpuni yang sanggup menguasai
segala bidang, maka seorang pemberdaya merasa kelelahan. Capek. Melihat realita
yang di jumpai di lapangan ternyata njomplang
dan seringkali malah bertabrakan dengan teori-teori pemberdayaan baku. Belakangan
baru di ketahui bahwa tidak semudah dan segampang yang tercantum dalam buku
teknis dan pedoman. Teori pemberdayaan terkadang dirasa tidak relevan lagi di
hadang keruwetan kondisi masyarakat.
Banyak
faktor seperti faktor struktural, kultural, birokratis serta faktor-faktor yang tidak akan terlacak oleh
ilmu-ilmu sosial karena memang akan sangat sulit di identifikasi. Namun jelas,
bahwa permasalahan yang menghadang akan sangat complicated. Anda akan mendapati
10 persen yang dilaporkan dan di umumkan dan menyimpan 90 persen hal-hal yang
tabu untuk di ungkapkan kepada publik.
Dalam
situasi seperti itu yang berlangsung selama bertahun-tahun, membuat nilai
pemberdayaan mengalami distorsi dan reduksi. Nilai pemberdayaan bukan lagi
menjadi nilai yang kualitatif, namun sudah bergeser menjadi nilai normatif
saja. Sudah tidak peduli lagi apakah berpihak kepada masyarakat miskin atau
tidak, tidak perduli apakah kualitas proses pengambilan keputusan merupakan
representasi demokrasi atau tidak, karena yang terpenting adalah di atas kertas
kerja saja yang penuh dengan data manipulatif. Dan puncaknya adalah kita
sanggup menyelenggarakan sebuah musyawarah besar yang ternyata merupakan sandiwara
serta rekayasa belaka.
Kondisi
ini sangat ironis, karena sebagai pemberdaya kita sendiri malah tidak berdaya.
Tidak berdaya menghadapi tekanan, beban
tahapan program, laporan yang absurd sehingga menyebabkan ruh moral dan etika
pemberdaya terselip di tengah-tengah himpitan kegiatan. Kita di hadapkan dengan
pilihan simalakama, bekerja dengan nilai dan etika namun progres akan mengalami
keterlambatan ataukah bekerja di atas meja yang semuanya dapat di olah dan
dibuat tanpa kita melihat kondisi sejati masyarakat namun keuntungannya adalah akan
meningkatkan citra diri kita kepada program. Keterlambatan laporan akan membuat
anda terancam, dan atasan akan menganggap anda tidak becus bekerja secara
profesional. Sedangkan indikator evaluasi kinerja juga tidak mampu menyentuh
aspek yang murni karena disana sini karena berbias dengan subjektivitas.
Di
tengah keruwetan tersebut, pemberdaya
menjadi oleng dan mengapung-apung di tengah gelombang tahapan program kegiatan.
Semuanya harus di kerjakan, dilaksanakan, diselesaikan dan di laporkan. Tidak
hanya tuntutan atasan namun juga keadaan masyarakat yang menuntut pendampingan.
Belum selesai satu sudah muncul tugas dan beban yang
lain. Belum lagi di tambah permasalahan di dalam tubuh
internal yang juga harus di selesaikan dan juga tetap di laporkan. Para pelaku
pemberdayaan, menjadi malah sibuk berkutat, berdiskusi, berdebat, sampai
melupakan esensi pemberdayaan itu sendiri. Kita seolah-olah harus mampu apa
saja, siap kapan saja, dan tidak boleh mengeluh.
Sehingga
bukanlah hal yang aneh, apabila di balik (katanya) kesuksesan program namun di
belakang layar, kita sering mendengar celotehan bernada minor.
“Kalau
suatu pekerjaan dikerjakan, maka pekerjaan itu akan sedikit-demi sedikit
terselesaikan. Namun bila disini, semakin suatu pekerjaan itu dikerjakan, bukan
malah selesai namun malah akan tambah
semakin banyak pekerjaan....” Kata pelaku di tingkat desa.
Bahkan
terkadang kita sering mendengar anekdot : “Kalo seperti ini bukan pemberdayaan
namun lebih tepat diperdayai. Karena bukan semakin kita berdaya namun malah
semakin bingung karena kebijakan sering tidak konsisten dan kurang relevan
dengan kondisi di lapangan.”
“Kita
bekerja kepada antek Kumpeni yang tidak punya hati nurani. ” Kata seseorang. “
Tidak boleh melakukan sedikit kesalahan apapun. Karena satu kesalahan yang kita
lakukan akan membumihanguskan seluruh kinerja yang telah kita hasilkan.”
“Tidak sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan,
hak-hak kita diperkosa...” Tambah seseorang pemberdaya yang sudah senior.
“Kita disuruh mengentaskan kemiskinan tapi tidak di
beri reward dan jaminan keamanan hari tua. Bila
program ini berhasil kita sendiri malah akan menjadi miskin, menjadi
pengangguran karena kita terkena PHK.”
Bermacam-macam
lagi uneg-unegnya yang masalahnya
menggumpal dari dalam mereka masing-masing yang bersumber dari kekesalan dan pressure beban pekerjaan yang tidak dimengerti harus di salurkan ke
arah mana amarah tersebut. Karena toh bila terpaksanya dikembalikan lagi juga
banyak yang tidak berani nyali. Karena perjanjian kontraknya jelas. Silahkan
angkat kaki bila tidak berminat disini.
Dari
satu sisi saja sudah dapat kita identifikasi ketidakberdayaan dalam diri kita. Alih-alih memberdayakan masyarakat, memberdayakan diri kita sendiri saja masih
tanda tanya besar. Terlihat dari banyaknya hal yang ternyata tidak sanggup kita
selesaikan sehingga menjadi kebuntuan.
Tantangannya adalah apakah kita akan terus berkeluh
kesah, terhadap pekerjaan kita yang semakin memperlihatkan ketidakberdayaan
kita. Ataukah kita memulai menata kembali nilai pemberdayaan untuk dapat
diterapkan kepada masyarakat yang tidak melanggar mekanisme kebijakan namun
dapat diterima dengan hati dan bukan hanya administrasi. Setidaknya
mari kita memulai dari kita sendiri.
N.
Gilang Prayoga
Praktisi Pemberdayaan