Umpamanya ketika di lontarkan
tema tentang makna pemberdayaan dan seberapa jauh nilai pemberdayaan itu
merasuk dan menjiwai dalam dari seorang pemberdaya. Semuanya sepakat bahwa
masyarakat harus mendapatkan hak-haknya dasarnya, harus diperjuangkan aspirasi
politiknya, di kuatkan mekanisme control dan bargaining powernya. Semuanya menyetujui bahwa terdapat
ketidakberesan dalam stuktur tatanan birokrasi serta regulasi formal Negara
ini. Dan pemberdayaan dianggap sebagai problem solvingnya dari masalah
kemiskinan di Negara yang kaya raya ini. Karena memang telah terbukti, bahwa
sistem diktator dan otoriterisme dari sistem yang sentralistik telah sukses
membawa bangsa ini dalam kebangkrutan.
Dan alangkah sangat mulianya ketika idealisme dan keberpihakan kepada
masyarakat yang kurang beruntung itu dapat di terjemahkan dan di
implementasikan dalam sebuah kerangka system yang lebih baik. Yang dalam
pelaksanaannya di serahkan kepada demokrasi. Yang dalam arti segala bentuk
keputusan di kembalikan kepada masyarakat. Meskipun terpaksanya kita kembalikan
juga pertanyaanya apakah demokrasi selama ini yang kita jalani sudah
merepresentasikan aspirasi politik masyarakat, ataukah sudah di belokan oleh
tangan-tangan kekuasaan yang mempunyai kepentingan dan menunggangi dari
kebodohan serta ketidaktahuan masyarakatnya. Pelaku pemberdayaan di tantang,
apakah mampu untuk menghasilkan goal sesuai dengan cita-cita bersama itu. Dan
karena memang hakikatnya secara yuridis kita telah di tunjuk, di bentuk dengan
sistem demokratis masyarakat yang berbias, maka seringkali kita terjebak dan
menyadari dengan angkuhnya bahwa kita merupakan orang-orang pilihan yang di
tugaskan untuk mengentaskan kemiskinan sehingga lupa dan tidak menyadari esensi
pemberdayaan masyarakat namun sudah di persempit dengan pemberdayaan diri kita
sendiri.
Letak idealisme dan point of perception kita terhadap pemberdayaan di
kungkungi dengan lingkungan yang mungkin malah tidak mendukung proses
pemberdayaan itu, namun malah di kelilingi dengan pelemahan-pelemahan di sana
sini yang bisa berasal dari tatanan birokrasi, intervensi demokrasi yang lemah,
administrasi minded yang absurd, yang bercampur dengan motivasi-motivasi serta
keserakahan pribadi.
Jadi mungkin tulisan ini hanya menawarkan tesis yang sederhana. Bahwa harus
kita lihat kembali, harus kita rekonstruksi kembali pemahaman-pemahaman kita
terkait dengan nilai pemberdayaan itu. Contohnya: apakah nilai pemberdayaan itu
sebuah alur tahapan yang menyerupai proyek ataukan dia sebuah bangunan nilai.
Bangunan nilai pemberdayaan atau sering kita sebut sebagai ruh pemberdayaan ini
berposisi primer ataukah sekunder dalam sistem kita ini. Mungkin dapat kita
sepakati bahwa nilai ruh pemberdayaan itulah yang harusnya berposisi primer.
Namun pertanyaan selanjutnya, nilai pemberdayaan ini di ukur dengan kriteria
seperti apa, dengan indikator-indikator macam apa, bagaimana teknis
penilaiannya. Seberapa besar nilai subjektifnya. Siapa yang berhak menentukan
penilaianya tersebut. Dan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan lain yang
saling silang sengkarut.
Tantangan pemberdayaan yang berasal dari luar lebih sering kita perhatikan
daripada tantangan dan ancaman dari dalam diri kita sendiri. Berbagai kasus
yang muncul yang merupakan akumuluasi puncak dari wajah pemberdayaan kita
semakin hari semakin menampakkan wajah yang sesungguhnya. Kita sibuk
mempertengkarkan masyarakat yang tidak berdaya namun lupa bahwa kita
sesungguhnya tidak berdaya. Nilai-nilai moral yang menjadi soko gurunya
pemberdayaan sudah di gantikan dengan nilai kapitalistik yang mengatasnamakan
kepentingan masyarakat.
Kasus fraud, lemahnya sistem manajemen organisasi, dukungan sistem yang
masih belum solid dan inkonsistensi kebijakan membuktikan bahwa sesungguhnya
yang harus di perbaiki adalah diri kita terlebih dahulu. Tamparan kasus demi
kasus tidak boleh membutakan mata hati kita bahwa memang terjadi ketidakberesan
dalam sistem kita sendiri. Secara jantan harus kita akui, bahwa nilai
pemberdayaan dalam kita sendiri ternyata masih jauh dari harapan.
Seberapa banggakah kita
menyandang predikat sebagai seorang pemberdaya? Seberapa murnikah nilai
pemberdayaan dalam diri kita? Pertanyaan-pertanyaan moral dari nurani kita
selama ini hilang entah kemana.
Gilang Prayoga,
Praktisi Pemberdayaan