H
|
andphone itu kembali berdering untuk kesekian
kalinya. Sayup-sayup terdengar di telinga dengan suara khasnya yang menandakan
bahwa ada pesan masuk di HPku. Aku masih sedikit tersadar dari lelap tidurku.
Kukumpulkan tenaga, untuk mengusir kantuk. Dengan sedikit malas ku raih
Handphone itu di atas meja, di sebelah komputer bututku. Kulihat ada empat
panggilan tak terjawab dan satu SMS. Ku buka pesan tersebut.
Kok
ga’ diangkat??!!Lagi apa????!!”
Ku jawab dengan singkat.
Maaf.....tadi
lagi tidur...Semalaman belum tidur....Ada apa?”
Ku rebahkan tubuh ini lagi di ranjang
kasur kamar kosku. Capek dan lelah tubuh ini, setelah tadi malam lembur bikin
tugas analisa makroekonomika yang di deadline untuk harus selesai dan di
kumpulkan pada jam 9 pagi tadi, sebagai tugas pra-syarat untuk mengikuti ujian
akhir semester pada hari senin depan. Demi ujian itulah aku harus begadang tiap
malam, agar tidak mendapat nilai E yang sudah di janjikan dosen kami jika
sampai mahasiswanya tidak membuat tugas akhir. Itu artinya sangat jelas, apabila
gagal, mengulang kembali lagi di semester tahun depan. Dan itu merupakan konsekuensi yang mengerikan mengingat kami
sudah mencapai akhir semester. Sebuah intimidasi terselubung aku pikir. Namun
kami tak kuasa menolak apalagi membantah. Begitulah psikologi orang yang lemah
daya tawarnya. Tidak bisa berbuat apa-apa, namun hanya menggeremang dan
mengutuki saja namun tidak bisa merubah apapun. Tidur. Istirahat kembali untuk
nanti malam menyiapkan energi.
Belum sempat aku terlelap, aku di kagetkan
kembali dengan suara telepon yang meraung-raung tepat di sebelah kupingku.
Brengsek. Siapa lagi yang mengganggu tidur ini. Kulihat nama yang muncul di layar handphone. Aku
mendesah. Namun tetap kuangkat telepon itu.
-----------------------------------0000---------------------------------
Setengah jam selanjutnya, aku sudah berada
di atas bus kota yang terjebak di silang sengkarutnya lalu lintas jalanan. Di
tengah panasnya udara kota ini, aku terhimpit diantara penumpang lain. Mandi
sebelum berangkat tadi sedikit menyegarkan dan mengusir kantuk. Meskipun di
dalam bis reyot ini, sisa kesegeran itu menguap sudah.
Kupandang keluar jendela, menyaksikan keruwetan
kota ini. Sebuah kota yang penuh dinamika budaya dan akan sedang gencar
membangun tata kotanya.
Aku turun di simpang jalan, di depan
sebuah gapura perumahan elite di kota ini. Dengan di jaga seorang satpam yang
bertugas disana, yang sudah aku kenal, dikarenakan diriku termasuk salah seorang tamu
langganan bagi salah satu keluarga penghuni perumahan. Kusampaikan salam dan
basa-basi sebentar untuk menghormati dan selanjutnya bergegas masuk dalam
kompleks mewah ini. Aku akan
berjalan kurang lebih lima ratus meter ke dalam. Karena rumah yang kutuju masih
beberapa blok dari jalan raya.
Ku keluarkan rokok dalam bungkusnya sisa
begadang tadi malam, sebagai teman perjalanan. Ku nyalakan api, menghirup
dalam-dalam dan melepaskannya perlahan-lahan. Menikmati setiap nikotin yang
beradu dalam lidah ini. Percakapan semalam dengan seorang teman mulai masuk
dalam struktur ingatanku lagi.
“Sudahlah, di nikmatin saja hubungan dengan
dia. Jangan sok menjadi idealis begitu. Bodoh itu namanya.” Kata Bang Yos,
teman satu kos yang kamarnya tepat berhadapan dengan kamar aku.
“Bukan aku sok idealis Bang, tapi ini soal
gengsi dan harga diri lelaki......”Kataku setelah menceritakan masalah ini
kepada beliaunya.
‘Kamunya saja yang mungkin terlalu rumit....”
Aku menghela nafas sejenak.
Memang, untuk urusan seperti ini bagi sebagian
kalangan bukan masalah, dan mungkin malah merupakan sebuah anugerah. Bayangkan
mempunyai teman wanita dari anak keluarga yang cukup terpandang di kota ini. Yang mau menerima cowok miskin apa adanya
buat dia. Mana ada sekarang, model cewek seperti itu. Tapi, ah itulah
masalahnya.
Memang kuakui, seharusnya aku beruntung.
Namun, entah darimana asalnya, hati terdalam ini seperti memekik-mekik keras
saat aku berada di dekatnya. Harga diri ini serasa di aduk-aduk. Meskipun itu
di sampaikan dengan perantara yang katanya beratasnama cinta, kasih sayang dan
perhatian. Namun yang sampai padaku, yang aku rasakan berasa layaknya
pengebirian besar-besaran terhadap sebuah harga diri lelaki. Mungkin ini subjektif
dari perasaanku saja. Mungki aku yang terlalu berlebih-lebihan dan bersangka
buruk dengan dia. Entahlah.
Ketika setiap cowok terus menerus di
supplai setiap jalan, di sokong setiap makan, di bayari ongkos untuk biaya hidup
sehari-hari karena kiriman bulanan yang di terimakan jauh dari mencukupi hidup
selama 1 bulan. Yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa sehingga menjadi tak
kuasa menolak setiap ucapanya. Ucapan-ucapanya haruslah di turuti, karena kalau
tidak di turuti alangkah sangat buruknya. Sudahlah makan di bayari, masih mau
menangnya sendiri pula. Dan saya bukan termasuk orang seperti itu.
“Bahh...mana ada sekarang harga diri. Yang ada adalah diri kita yang semakin tidak
berharga.” Potong Bang Yos.
“Abang ini maksudnya bagaimana kok malah diri
kita semakin tidak berharga?” Aku belum paham apa yang akan diomongkannya ini.
“Loh..iya tha...lihat saja di sekitar kita ini,
berapa banyak diri kita yang semakin berlagak sok jual diri malah semakin tidak
laku. Parameter yang dipakai sekarang ini adalah seberapa murah anda menjual
diri anda, dan itu akan di beli oleh produser-produser zaman untuk meraup keuntungan
buat diri mereka sendiri.”
“Ini siapa yang mau jadi bintang film? Ini
adalah soal harga diri dan gengsi yang harus ada pada diri lelaki agar kita
sebagai lelaki tidak di rendahkan mahluk lain yang bernama wanita.” Kataku
sedikit berapi-api.
“ Itulah masalahnya. Matamu masih kurang
awas, rabun senja dalam melihat konteks masalah.”
Bang Yoss garuk-garuk kepala. Dan mulai mendalili diriku tentang
berbagai macam hal.
“Kamu bertahan untuk menjadi orang yang
punya harga diri, tapi kamu miskin. Kalau dirimu miskin dan memang berniat
untuk miskin tidak usah mensalahartikan pemberian orang yang merupakan bentuk
penghargaan dan kasihnya kepada dirimu.”
Bang yos berhenti sejenak. Mengambil
sebatang rokok yang aku sediakan dan menyulut rokoknya, menghisap dalam-dalam
dan menghembuskannya ke arah wajahku. Sehingga asap putih itu mengepul-ngepul
seolah-olah meracuni alam pikiran idealisku selama ini.
“Dan bila memang ingin harga diri,
tetaplah miskin dan jangan mengutuki kemiskinanmu.”
Bang yos berdiri dan meninggalkan diriku
yang masih termangu-mangu.
Aku mendesah. Pikiranku kacau. Dan
sampailah aku di kediaman rumah istana ini. Rumah seorang bidadari. Namun aku
cenderung melihatnya bagai vampire penghisap darah harga diri.
Dia berdiri di beranda depan rumah. Seperti biasa menyambut dengan senyum yang
ramah dan berwajah ceria. Terbersit rasa berdosa bila melihat kemurnian dan
wajah tanpa dosanya.
Setelah berbasa-basi sejenak. Akhirnya di
putuskan bahwa aku untuk kesekian kalinya harus mengantar dia pergi berbelanja
dan tidak lupa mampir di rumah temannya. Entah ada urusan apa. Namun aku
mencatat, seringkali ketika kami jalan, kami harus datang ke rumah
teman-temannya. Yang menanyakan tugaslah, mengambil barang yang ketinggalan,
janjian mau pergi ke fitness, menghadiri pesta diskonlah, mendiskusikan acara
kampus dan lain sebagainya. Yang terkadang aku berpikir bahwa banyak sekali
agenda perempuan ini. Dan memang, aku tidak terlalu perduli dengan
aktivitasnya. Karena bagiku tidak penting untuk memikirkan hal-hal semacam itu.
Lebih baik memikirkan bagaimana kuliahku cepat selesai, syukur-syukur dengan
IPK yang tinggi dan segera dapat pekerjaan sehingga bisa membantu keluargaku
yang ada di kampung.
Dan ketika di depan teman-temannya, merasa diri
ini serasa kambing congek yang di kekang oleh tali dan di mainkan sesuka
hatinya oleh si penggembala. Meskipun meraka tidak berkata-kata apapun di
depanku, dan mungkin saja mereka pekewuh hati
dengan diriku, jadi hanya sebatas tegur sapa dan lempat senyum yang hambar.
Bagi mereka mungkin terbersit pikiran : inilah cowok yang selama ini hanya
menjadi benalu bagi pacarnya. Cowok yang tidak pernah punya modal. Hanya
mengandalkan tampang yang pas-pasan dan wajah memelas yang patut di kasihani.
Pikiran-pikiran itu menerobos akal, mengaduk-aduk
hati dan menjungkirbalikan tatanan syaraf dan prinsip diriku. Namun tak bisa
kulakukan apapun. Aku semakin menunduk dalam-dalam tidak berani menatap wajah
mereka.
Dan ketika tiba di pusat perbelanjaapun,
beribu-ribu wajah itu semakin menakutkan. Melihat diriku dengan tatapan yang
tajam dan menyelidik dan sedikit di tambahi dengan senyum yang sinis dan
sedikit terpancar wajah menghina di raut muka. Seorang pria yang membawakan
barang bawaan teman wanitanya, yang bisa di suruh kesana kemari untuk melayani
perintah sang Ndoro Putri, selalu harus menunjukkan muka tersenyum meskipun
hati memekik diam-diam.
Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku menolak
diperbudak. Aku menolak untuk menjual diriku dengan beberapa potong celana
jeans, dengan handphone Blackberry, dengan tambahan uang jajan dan uang kuliah.
Aku tidak semurah itu.
Kuambil nafas dalam-dalam. Kutahan gemuruh di
dada ini yang hampir meledak. Dan sekarang harus kutegaskan.
Ku gandeng tangan dan ku tatap wajahnya namun
dengan senyum manis yang terbuat dari gula kepalsuan. Tidak perduli, toh dia
juga tidak mengerti.
. “Sudah
hampir malam, ayo kita pulang,” dengan nada lembut ku sampaikan permintaanku.
“Sebentar dong Sayang. Kan masih banyak pesenan
dari mama yang belum kebeli.”Jawabnya dengan manja.
“Ya di terusin besok lagi saja ya. Kan uda mau ujian semester. Jadi mendingan kita
pulang dulu saja. Biar bisa ada waktu buat belajar.” Kata diriku dengan gaya
bicara yang sok bijak.
Dengan sedikit rayuan, akhirnya bersedialah
kita menyegarakan untuk pulang. Meskipun di tengah perjalanan dia membuat
janji-janji dan kesepakatan yang harus aku tepati. Kutampung celotehannya itu
dengan sunggingan senyum kegetiran. Karena dalam hati ini telah terucap, maaf
sayang aku tidak bisa lagi kau harapkan.
Dan ketika di depan rumahnya yang megah, di
bawah temaram lampu yang romantis. Dengan hidangan kue yang bermacam-macam, ku
tetetapkan untuk mengungkapkan.
Sudah bisa di tebak dia akan menangis. Dia menjerit. Dia memekik. Menanyakan alasan
apa sehingga aku berkata demikian. Dia memegang tanganku, meronta tidak mau
dilepaskan sebelum aku menjelaskan.
Sedikit aku larut dalam drama melankolia
itu. Tapi kutepiskan rasa itu. Toh, seluruh wanita juga pernah merasakah
menangis, dan wajar apabila wanita menangis pada saat seperti ini. Tidak
kupedulikan.
Kubisikkan kata terakhir.
“Maafkan aku sayang. Kesalahanmu terhadap
diriku hanya satu. Karena dirimu tidak pernah berbuat salah.”
Aku beranjak untuk berdiri. Kutinggalkan
dia sendiri di taman impian ini.
Aku melangkah sangat gagah. Takan ada lagi
mata-mata yang memandang menghinakan. Kuhancurkan semua tatapan sinis dan
meremehkan. Kujawab dengan keputusan yang gemilang. Ini harga diri laki laki,
Bung. Dan jangan sekali kali kau
rendahkan.
-----------------------------------0000---------------------------------
Beberapa pekan selanjutnya, aku tidak
pernah bertemu lagi dengan dirinya. Meskipun sedikit pula kumendengar cerita
dari beberapa temah kuliah tentang dia. Namun aku tidak perduli. Itu masa
silam. Tidak berpengaruh di masa depan. Dan telah kupilih masa depan itu dengan belajar mati-matian untuk
menghadapi ujian. Ini merupakan semester akhir, dan aku harus bisa mendapatkan
yang terbaik untuk nilai ujian kali ini.
Duduk di sebuah bangku kantin menghadapi
segelas teh manis yang dihidangkan. Aku menunggu sebuah kabar. Sebuah kabar dari ayah di rantau seberang.
Bagaimanapun kemarin sudah aku jelaskan, bahwa aku akan menghadapi ujian dan
membutuhkan biaya agar aku dapat mengikutinya. Beliau menjanjikan akan memberi
kabar. Semoga kabar yang menggembirakan.
Satu dua jam aku menunggu. Rasa gelisah
semakin menjalari diri ini. Hari ini adalah hari terakhir untuk melakukan
pembayaran. Apabila tidak bisa melunasi pembayaran, hancurlah perjuangan
belajar selama semester ini.
Aku semakin gelisah. Beberapa kali kucoba
kuhubungi dengan telpon dan tidak ada jawaban. Berpuluh SMS telah kukirimkan, namun sampai detik ini belum ada jawaban.
Aku panik. Aku kuatkan untuk menunggu dan bertahan. Setidaknya masih ada
beberapa jam tersisa.
Aku masih menghadapi teh manisku yang memang
sengaja belum aku habiskan ketika dia datang bersama dengan segerombolan
teman-temannya. Pura-pura aku tidak melihatnya, meskipun toh akhirnya harus
bersapa juga. Dia memisahkan
diri dari teman-temannya dan memilih duduk di satu meja dengan aku. Sedikit kikuk, namun tetap kupertahankan harga
diriku untuk terlihat tenang.
Dia mulai menyapa dan berkata. Menanyakan
kabar dan segala hal selama ini. Dia mulai membuka cerita, tentang banyak hal.
Dan tidak menyinggung kejadian tempo hari yang membuat dirinya hancur
berantakan, Sudah tidak dapat di temukan jejak kesedihan itu. Yang terlihat hanya kecerian dan sebuah
kemurnian. Tercermin dari tutur katanya yang lembut dan menentramkan. Ah ini
hanya melankolia.
Dering teleponku berbunyi. Ada SMS yang masuk.
Ah ini dia, yang sedari tadi kutunggu. Aku melonjak kegirangan, sehingga dia
juga sedikit heran dengan perubahan mendadak pada diriku. Ku sambut dia dengan
senyum yang 100% murni.
Kuambil Handphone itu dan kubaca pesan
singkatnya.
Bang...maaf
bapak belum dapat mengusahakan. Coba nyari pinjaman dulu...
Aku tergetar. Seluruh dunia ini seakan
berhenti berputar. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang. Aku menunduk dalam. Tidak
mampu berkata dan tidak kudengar seorang yang berkata di depanku. Seolah aku
berada di alam lain.
Dia memegang tanganku. Melihat ada
perubahan di diriku. Dia menanyai diriku. Kenapa dan apa. Seperti pertanyaannya
tempo dulu. Namun kali ini perlahan-lahan kuceritakan. Bibir ini berat selayaknya di bebani dengan
batu berton-ton. Aku tak sanggup untuk menatap wajahnya.
Dia menggerakkan tanganku. Dan
dikeluarkannya beberapa lembar uang ratus ribuan dan diserahkannya kepada
diriku.
“Segera untuk dibayarkan dulu, mumpung belum
telat.”katanya dengan tulus.
Kutatap wajahnya. Kulihat kebeningan di
matanya. Dia tersenyum. Namun kali ini akulah yang menangis.
N. Gilang Prayoga
Purbalingga
18 Januari 2012