
Menyikapi
hal tersebut Pemerintah sigap untuk menghadang rencana “perang” massa itu
dengan memerintahkan POLRI dan TNI untuk menjadi garda depan. Meskipun
menjadi problematic sendiri ketika TNI harus turun tangan mengamankan para
pendemo. Banyak pihak menilai pengerahan TNI tidak sesuai dengan fungsinya.
Yang seharusnya berfungsi untuk menjaga atau mengamankan kedaulatan NKRI dari
pihak asing, ini malah di hadapkan kepada rakyat sendiri. Dan yang terjadi
adalah benturan yang berujung kekerasan. Meskipun ada nada-nada sumbang bahwa
itu terjadi karena ada provokasi, karena di tekan duluan atau apapun saja. Namun yang pasti, moment
tersebut membuat kepercayaan publik kepada pemerintah SBY merosot tajam.
Pertanyaannya adalah apakah mengemukakan ketika rakyat mengemukakan pendapatnya
lantas sudah mesti dituduh subversif? Apakah ketika melaksanakan demonstrasi,
sudah di curigai akan melakukan perusakan-perusakan atau penjarahan massal. Ataukah
merupakan ketakutan penguasa negeri ini akan terjadinya demonstrasi seperti
1998.
Para penuntut penolakan,
partai oposisi, menyatakan bahwa ini merupakan pembohongan publik. Mereka
mengklaim bahwa dengan perhitungan mereka, APBN negara tidak akan jebol
meskipun harga BBM mencapai 125 US Dollar per barel. Bahkan selama ini
pemerintah cenderung tertutup atas hasil penjualan minyaknya. Mereka
mengemukakan bukti-bukti yang menyatakan bahwa negara ini telah di untungkan
dengan hasil penjualan minyak mentah dan penjualan BBM masyarakat. Bahkan di
temukan suplus dengan nominal 97 Triliun per tahun dari hasil bakulan minyak
tersebut. Sedangkan di pihak lain, Pemerintah juga ngotot bahwa subsidi BBM
banyak di nikmati oleh warga yang mampu dan bukan rakyat miskin. Meskipun harus
di runut, apakah mempunyai sepeda motor pada masa kini serta merta telah
dianggap warga yang mampu sehingga tidak perlu di subsidi. Para pendukung BBM
juga berkilah dengan menyiapkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan
Langsung Sementara (BLS) yang di tujukan kepada rumah tangga miskin dengan
besaran Rp. 150.000,- /bulan. Selain itu juga telah di siapkan program subsidi
angkutan umum dan beasiswa miskin. So,
pemerintah berkeras untuk mengatakan ini bukan kenaikan namun penyesuaian.
Namun para penentang dan
banyak sebagian masyarakat merasa tidak puas, karena kompensasi yang di berikan
di rasa tidak menyelesaikan masalah. Harga-harga menjadi lompat galah,
sementara pendapatan tidak pernah bertambah kecuali PNS. Angka kemiskinan di
prediksi akan meningkat sangat signifikan.
Garis kemiskinan BPS dengan
indeks pengeluaran per kapita per bulan Rp 233.740,- saja telah mencatat kurang
lebih 30,02 Juta jiwa (sumber : BPS,
Agustus) yang berada di garis kemiskinan. Kita yang mempunyai pendapatan
misalnya Rp 500.000,- setiap bulan di anggap sudah melampui kemiskinan,
meskipun kita juga merasakan megap-megap
(sulit bernafas) untuk memenuhi kebutuhan dasar kita. Coba anda bayangkan dapat
hidup apa dengan hanya uang segitu selama sebulan. Jadi bagi anda yang
mempunyai pendapatan dan pengeluaran per bulan lebih dari nominal tersebut
selama sebulan anda tergolong tidak miskin.
Kalau tidak
miskin, tentu anda tidak berhak mendapatkan subsidi. Memang orang miskin dan
data kemiskinan sangat jauh berbeda. Mungkin sebaiknya sebelum, bahwa
bapak-bapak pejabat yang terhormat merasakan di gaji sebesar RP 500.000,- /
bulan. Coba kalau mereka berani menghadapi hidup ini dengan menanggung
kebutuhan pokok selama sebulan.
Mungkin
teorinya sedikit absurd, kemiskinan jenis apa yang layak di santuni. Beribu-ribu
buruh pabrik dan pegawai informal di pekerjakan dengan upah di bawah UMK/UMR,
jika mengacu indeks BPS juga tidak termasuk rakyat miskin yang memerlukan
bantuan. Ini merupakan hinaan besar, kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi, namun di anggap tidak mempunyai masalah kemiskinan. Sungguh saya
tida pernah paham dengan masalah kemiskinan. BLT di bagikan hanya sebagai
permen pemanis di mulut namun tidak pernah mengenyangkan rakyat. Insiden BLT
yang tidak tepat sasaran, menciptakan disharmoni di antara masyarakat tidak
pernah di jadikan pertimbangan untuk mencari solusi yang lebih cerdas. Tidak
heran jika BLT juga di tentang oleh para perangkat desa. Dan puncaknya adalah
Pemerintah sudah buta tuli melihat kondisi rakyat yang nafas kehidupannya
semakin kembang kempis.
Namun mungkin kita harus mencoba
menanyakan langsung kepada masyarakat kecil di desa-desa, di kampung-kampung, ibu-ibu
penjual sayur, pedagang keliling, bapak bapak petani dan nelayan di dusun-dusun
apakah mengetahui sebab-sebab kenaikan BBM. Yang mereka ketahui dari informasi-informasi
televisi, pidato bapak presiden, wacana-wacana dari anak-anak mereka para
mahasiswa, kaum intelektual, dari obrolan gardu dengan tetangga-tetangga mereka
adalah katanya APBN akan jebol karena defisit menutup subsidi. Namun mereka
menjadi bingung ketika di paparkan lagi ketika ternyata ada informasi bahwa
sebenarnya hasil penjualan minyak itu ternyata surplus. Sebagai rakyat yang
selalu di asosiasikan kurang pintar, mereka menjadi bingung. Informasi mana
yang sebenarnya benar dan harus mereka percayai.
Mereka
tidak paham perhitungan minyak, impor minyak, berapa kilang minyak yang ada,
berapa produksinya, neraca keuangan pertamina, Exxon mobile dlsb. Mereka tidak
paham segala yang di belakangnya. Yang mereka rasakan hanyalah kehidupan
semakin sulit, nyeri sekaligus ngeri melihat masa depan anak-anak meraka.
Entah
siapa nanti yang akan menang dalam peperangan ini. Rakyat tidak perduli apakah BBM
mau naik atau tidak, rakyat tidak ambil pusing apakah harga juga akan membumbung
ke angkasa. Namun yang terpenting adalah Negara memastikan kemudahan hidup
mereka, menjamin mereka masih dapat membeli kebutuhan pokok, dapat mensekolahkan
anak-anak mereka, memperoleh pendapatan yang layak yang dapat mencukupi hak-hak
mereka sebagai warga Negara sesuai dengan tugas Pemerintah yang di amanatkan
dalam Undang-Undang. Namun
bila belum dapat merealisasikannya, sungguh harus kita pertanyakan lagi fungsi
Negara selama ini. Diperlukan atau tidak. Rakyat yang akan menjadi hakimnya.
Gilang Prayoga
Purbalingga
16.04 wib.