Meskipun juga harus ada argument-argument
klise seperti kuliah itu untuk menuntut ilmu, menguak rahasia keajaiban alam
yang terhampar. Menjadi sang pencerah dalam membaca tanda alam melalui ilmu
pengetahuan. Sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat melalui riset-riset
ilmiah.
Namun mayoritas ketika di telusuri
lebih dalam lagi, ujungnya adalah sama: setidaknya nanti dengan kuliah dapat
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang lebih dari layak. Untuk urusan ilmu
pengetahuan, itu kita pinggirkan untuk menjadi kosmetik wajah ketika kita
berhadapan dengan orang lain. Sepenuhnya kita lebih berharap kepada pengakuan saja
yang tercetak dalam lembaran ijasah.
Saya belum melakukan survey apakah selama
ini apakah sarjana cetakan dari universitas selalu dapat mengaplikasikan
ilmunya yang di dapat di bangku kuliah. Berapa prosentase ilmu kuliah yang
dapat kita terapkan dalam pekerjaan kita. Apakah orang yang belajar ekonomi
akan selalu sukses menjadi ekonom? Apakah para mahasiswa di jurusan ilmu agama,
terus lantas setelah lulus menjadi mubaligh? Apakah juga untuk program studi
yang lain juga akan selalu relevan dengan pekerjaan selanjutnya? Kalau tidak di
aplikasikan kan ini merupakan defisit pengetahuan, penghamburan ilmu serta
kesia-siaan saja. Meskipun juga tidak bisa di generalisir secara merata.
Contohnya adalah jurusan kedokteran. Salah
satu jurusan yang sangat istimewa, karena selepas keluar dari kampus dan telah
menempuh jalur spesialisasi, maka mahasiswa kedokteran selalu sudah di panggil Pak
dokter atau Bu Dokter. Meskipun dia belum buka praktek dan belum mendapatkan
pekerjaan di institusi kesehatan, dia akan tetap menjadi dokter yang pasti akan
langsung di kerubuti para pasien. Maka sedikit saya kadang berpikir, alangkah
hebat dan tinggi sekali profesi seorang dokter ini. Sudah cerdas berhati mulia
lagi. Karena kalau tidak cerdas tidak mungkin dia akan masuk jurusan kedokteran.
Sehingga saya selalu membayangkan semua dokter itu selalu mempunyai IQ yang
setidaknya di atas manusia rata-rata seperti saya ini. Karena kalau dia tidak
cerdas maka akan celakalah calon pasiennya kelak. Karena para dokter ini
merupakan orang-orang cerdas, maka jarang kita mendengar adanya mal praktek.
Kalaupun ada itu hanya segelintir kasus saja. Namun wajah medical kita tetap
sumringah dan selalu memberikan penanganan masalah kesehatan kepada masyarakat
dengan opti mal.
Untuk profesi lain secara kasat mata
telah kita lihat tanda-tanda bahwa semakin banyak orang yang bekerja tidak
sesuai dengan disiplin ilmu yang dia miliki. Ada fakultas ekonomi yang jadinya
makelar, sarjana hukum yang jadi tukang beras, sarjana ilmu pemerintahan jadi
debt collector, dan banyak yang lebih tidak beruntung karena tidak kebagian
pekerjaan. Sehingga mau tidak mau melakukan pekerjaan serabutan saja untuk
mendatangkan uang dan agar tidak di cap sebagai pengangguran intelektual. Tidak
ada jabatan yang lebih menyakitkan di dunia ini kecuali menyandang gelar
tersebut.
Kembali pada tema kita kali ini,
apakah selama ini bangku-bangku kuliah dapat menjawab persoalan hidup kita? Apakah
buku-buku, diktat perguruan tinggi mampu memberikan jaminan akan masa depan
kita? Ternyata sampai saat ini, tidak ada jaminan tersebut. Yang ada hanyalah
persyaratan. Requirement yang harus kita penuhi sebagai pra-syarat mengetuk
pintu perusahaan dan para pemegang modal.
Kita menjadi tidak taat kepada disiplin
ilmu yang telah kita miliki, dan tunduk pasrah menyerahkan kepada para pemilik
uang. Tentunya kita juga tidak semuanya menghilangkan ilmu kita untuk memasuki
dunia kerja, tapi relevansi ilmu dan pengetahuan kita saat memasuki dunia kerja
sungguh tidak ada sangkut pautnya. Ketika kita diterima menjadi suatu karyawan
perusahaan, ternyata kita juga akan mendapatkan materi serta ilmu yang sesuai
dengan lingkup pekerjaan itu. Lha terus kalau kita saja setelah selesai lulus
kuliah, masih belajar lagi, artinya jelas bahwa gelar kesarjanaan kita sebagai
tolak ukur kapasitas intelektual dalam diri kita menjadi tidak berlaku.
Saya sendiri kadang membayangkan,
kenapa tidak dari bangku kuliah saja kita sudah mendapatkan materi-materi yang
nantinya langsung kita terapkan dalam perusahaan atau pekerjaan kita? Kenapa
kita harus membuang uang banyak terlebih dahulu hanya untuk sekedar melengkapi
administrasi saja. Sungguh saya tidak pernah paham dengan mekanisme pendidikan
kita.
Namun saya tidak berani menyarankan
anda untuk tidak kuliah. Namun setidaknya pesan yang saya terima dari beberapa
orang bijak dapat menjadi pertimbangan. Menjadi
pintar ataupun sukses itu tidak dari guru ataupun dari buku. Namun menjadi
pintar itu muncul dan harus tumbuh dari “dirimu”.
Gilang Prayoga
Purbalingga, 9 Maret 2012