Dari sebuah harian nasional, saya membaca sebuah artikel menarik terkait
dengan PNPM. Artikel itu ditulis oleh beliau bapak Zainin Ahmadi, anggota DPR
RI dari Fraksi PDI-Perjuangan. Dalam artikel tersebut beliau memberikan
usulan untuk meninjau ulang kegiatan PNPM. Tinjauan ulang itu berdasarkan 5
alasan yaitu a) penyelenggaraan program menabrak UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Penanganan Fakir Miskin (UU-PFM), b) Dana triliunan rupiah PNPM-Mandiri tidak
murni dari anggaran pendapatan belanja Negara dan daerah, melainkan dari
pinjaman Bank Dunia, c) Program PNPM jauh dari makna pemberdayaan masyarakat, d)
Program PNPM-Mandiri tumpang tindih dengan proyek-proyek pembangunan lain
karena jelajah PNPM-Mandiri yang tiada batas, e) PNPM sangat politis (
Republika, 7 Februari 2012).
Sebagai seorang penggiat serta
pelaku pemberdaya masyarakat yang berada di lapangan serta bersentuhan langsung
dengan akar rumput, saya merasa harus menyampaikan beberapa tanggapan sekadar
sebagai urun rembug, yang motivasinya pasti sama dengan niat baik dari beliaunya
bapak anggota dewan yaitu semata-mata
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak ada motivasi yang terselubung.
Beliau mungkin merasa gelisah dengan keadaan PNPM, dan ingin agar pembangunan
berjalan sesuai mekanisme sehingga aspek manfaat yang diterima masyarakat dapat
maksimal.
PNPM lahir dilatarbelakangi
dengan adanya persoalan kemiskinan dan pengangguran yang menjadi masalah utama
di negeri ini. Kesenjangan pembangunan antar wilayah yang mencolok, ketimpangan
pendapatan yang cukup ekstrim serta buruknya kinerja pemerintahan eksekutif dan
legislatif memicu masalah sosial yang tinggi di Indonesia. Tidak dapat
dipungkiri, 75% total uang negera ini menggumpal di Jakarta dan sisanya di bagi
ke seluruh pelosok negeri. Jakarta menjadi menara gading emas yang menarik
masyarakat desa untuk datang dan ikut mengadu nasib. Jakarta menawarkan
segalanya. Jakarta memberikan mimpi-mimpi indah. Dan tidak usah kaget jika arus urbanisasi tidak
pernah bisa dibendung apalagi di selesaikan pemerintah. Sedangkan bagi
daerah-daerah lain di luar Jakarta, apalagi yang lintas pulau dan jauh dari
ibukota, sering kita mendengar tentang minimnya infrastruktur dan sarana
prasarana yang di bangun.
Dan kemudian yang paling
meyedihkan adalah buruknya kinerja para birokrat di negeri ini. Bukan rahasia
umum, bila bersentuhan dengan urusan birokrasi pasti urusannya menjadi
berbelit-belit, ruwet dan memakan biaya yang besar. Memang untuk saat ini,
beberapa instansi pemerintahan sudah menggalakkan dengan adanya good
governance, tata kelola pemerintahan yang baik. Namun wajah para birokrat
kepada masyarakat masih menampakkan wajah yang sangar daripada menyejukkan.
Tidak ada ideologi mendahulukan kepentingan rakyat dan melayaninya bak seorang
raja. Padahal kalau mereka ingat bahwa mereka digaji dari hasil pajak rakyat
Indonesia.
PNPM hadir bukan untuk menjawab semua masalah di negeri ini. PNPM hanya
bagian kecil dari berbagai usaha yang sedang di tempuh untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Bila beliau bilang bahwa
PNPM menabrak Undang-Undang No. 13 tentang Penanganan Fakir Miskin, mungkin
harus sedikit kami sampaikan, bahwa PNPM tidak secara langsung menangani fakir
miskin. PNPM lebih menyasar utamanya kepada masyarakat miskin cluster II yaitu
kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Meskipun kemiskinan absolut juga
tetap di beri porsi dari adanya Dana Sosial bagi RTM (Rumah Tangga Miskin)
Absolut yang di ambil dari minimal 15 persen surplus UPK.
UU No.13 baru di sahkan pada tanggal 18 Agustus 2011 di Jakarta
menyebutkan bahwa Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak
mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya
dan/atau keluarganya (UU No.13 Tentang Penanganan Fakir Miskin Bab 1 Pasal 1).
Sedang untuk PNPM sendiri, tujuan umumnya seperti yang terdapat dalam Pedoman
Umum (Pedum) menyebutkan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan
kerja masyarakat miskin secara mandiri. Saya sendiri tidak melihat adanya hal
yang bertentangan dari keduanya. Menurut UU No.13, fakir miskin jelas
menyebutkan bahwa rakyat miskin adalah orang yang tidak mempunyai kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar, sedang di PNPM yang dituju adalah masyarakat miskin
yang masih memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraannya. Untuk rakyat
miskin yang tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, berarti dia
termasuk sebagai miskin absolut. Dan miskin absolut instansi yang berwenang
adalah Departemen Sosial.
Selanjutnya, di sebut juga bahwa dana PNPM berasal dari pinjaman Bank
Dunia alias hutang. Saya tidak berkomentar. Namun bila kita melihat struktur
APBN kita, pos yang mana yang tidak lepas dari hutang? Bahkan
demi menaikkan gaji pegawai negeri pun di ambilkan juga dari dana hutang. Meskipun
aspek kemanfaatan yang dirasakan rakyat tidak berubah.
Untuk statemen yang menyebutkan
bahwa PNPM jauh dari makna pemberdayaan, sedikit banyak saya menganggukkan kepala.
Namun degradasi esensi pemberdayaan dalam PNPM juga di sebabkan oleh adanya
muatan kepentingan dari berbagai pihak yang menjejali PNPM dengan administrasi
yang absurd, ruwet dengan tahapan kegiatan yang saling tumpang tindih sehingga
tidak sempat lagi bagi para pelaku pemberdaya memikirkan makna pemberdayaan.
Anda seorang pelaku pemberdaya, anda memikirkan secara tepat esensi
pemberdayaan, percayalah anda akan banyak di maki oleh atasan anda karena anda
terlambat memberikan laporan.
PNPM juga dalam artikel beliau di
sebutkan bahwa PNPM tumpang tindih dengan proyek pembangunan lain. Saya tidak
paham persis dengan pernyataan ini. Karena sepanjang pengetahuan kami, PNPM
tidak pernah mendanai kegiatan yang akan di danai oleh kegiatan lain. Proses
verifikasi dan aturan di PNPM yang cukup ketat, hampir tidak memberikan peluang
untuk mengusulkan kegiatan yang tumpang tindih. Memang daya jelajah PNPM sangat
luas dan lintas sektoral, karena PNPM di rancang sebagai embrio penanggulangan
kemiskinan yang integral dari berbagai instansi. Dalam pelaksanaannya, PNPM
lebih memilih usulan kegiatan yang tidak pernah bisa di akses oleh dinas serta
instansi terkait. Meskipun kegiatan PNPM berfokus pada peningkatan
infrastruktur perdesaan, namun usulan pembangunan proyek seringkali merupakan
usulan pembangunan yang tidak pernah laku untuk di jual di SKPD. Proses
pelaksanaan musrenbang saja selama ini yang seharusnya sebagai forum
partisiparif dalam merencanaka kegiatan pembangunan di desa sudah tidak bisa
mengcover usulan pembangunan yang diusulkan dan hanya menjadi formalitas
belaka. Karena toh sudah di usulkan di musrenbang tidak ada jaminan yang pasti
usulan tersebut di danai. Apalagi kalau kita boleh melebarkan lagi, usulan yang
sudah sampai di tingkat Musrenbangkab seringkali pupus dengan adanya
“tangan-tangan” sakti dari pemilik kepentingan dan kekuasaan. Proses partisipatif
masyarakat melalui penggalian gagasan dan prioritas seakan sirna tak berbekas.
Dan anehnya tidak ada yang mempertanyakan kemana usulan ini akan di bawa. Tidak
kepada SKPD maupun anggota DPRD.
SKPD, Kementrian, DPR, DPRD tidak pernah bisa melihat aspirasi masyarakat
secara langsung dan hanya melihat faktor luaran. Tidak heran apabila seringkali
kegiatan proyek yang di danai baik dari Dinas dan usulan partisipasi DPR-DPRD
sering tidak tepat sasaran dan bermutu rendah. Banyaknya proyek-proyek mangkrak
di negeri ini di sebabkan tidak lain karena proyek-proyek tersebut tidak pernah
melibatkan masyarakat secara langsung. Namun hanya sebagai bahan bancakan
kontraktor pemborong dan birokrat. PNPM dengan mengandalkan partisipasi konsep
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta pemeliharaan dari masyarakat sedikit
banyak lebih lumayan daripada proyek sejenis lainnya. Meskipun juga masih
terdapat kekuarangan di sana-sini.
Dan last but not least ketika
PNPM di sebut sangat politis. Kami rakyat kecil tidak
memahami dimana nuansa politisnya. Apakah PNPM di jadikan tameng kekuasaan, di
jadikan bemper bagi para pemangku kepentingan yang dapat di gunakan sesuai kehendak.
Kami tidak tahu. Namun kami berdoa bahwa PNPM tidak di politisir, hingga
mengorbankan hak-hak rakyat untuk ikut menikmati pembangunan.[]
N. Gilang Prayoga
Praktisi Pemberdayaan
Purbalingga, 15 Februari 2012