Sabtu, 26 Mei 2012

EKSPLOITAS PEREMPUAN ATAU KAPITALISME BARU Sebuah OTOKKRITIK PNPM Mandiri Perdesaan

Salah satu masalah serius yang dihadapi masyarakat perdesaan khususnya yang berada pada garis kemiskinan, adalah masalah permodalan atau akses masyarakat miskin ke-lembaga keuangan yang sangat kurang, sehingga ketertinggalan dan kemiskinan yang mereka hadapi semakin meng-akut dalam kehidupan mereka. Tetapi tidak cukup hanya memberikan pinjaman modal usaha, masalah yang mereka hadapi dapat terselesaikan dengan baik, karena masalah mereka sangat kompleks, sehingga di butuhkan pendekatan yang harus kompleks, terencana, sistematis, dan teruji.
Kehadiran PNPM Mandiri Perdesaan, dengan salah satu tujuan khususnya untuk mendorong pelembagaan system keuangan mikro di desa, awalnya memberi harapan pada semua pihak, khususnya masyarakat miskin itu sendiri, tetapi ketika Implementasi PNPM Mandiri Perdesaan hanya soal bagaimana masyarakat miskin di beri pinjaman modal usaha, dan hanya sebatas diajarkan berutang dengan baik dan benar, maka harapan untuk keluar dari kompleksitas permasalahan kemiskinan yang dihadapi sangat sulit untuk diwujudkan, karna terbukti, salah satu cita-cita luhur program, diterjemahkan  oleh sebagian besar fasilitator pada wilayah teknis dan prakmatis, yang seolah-olah semakin banyak yang diberi pinjaman akan, semakin banyak RTM diselamatkan.
Kemiskinan hari ini, tidak berdiri sendiri, tapi salah satu dampak dari kuatnya kapitalisme dalam kehidupan social ekonomi dan politik bangsa kita, sehingga masyarakat miskin pedesaan membutuhkan benteng perlindungan, dan salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan adalah  melalui “program pemberdayaan”, yang dijalankan dengan tulus dan benar-benar dijalankan dengan baik, sehingga memberi solusi terhadap akar permasalah kemiskinan yang dihadapi masyarakat miskin perdesaan hari ini.
Perbedaan pandangan Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan dalam melihat masalah pelem-bagaan sistem keuangan mikro, karena PNPM Mandiri Perdesaan telah berikrar bahwa dirinya adalah program pemberdayaan, yang akan mendorong kemandirian masyarakat, salah satu asfek adalah kemandirian ekonomi melalui lembaga keuangan mikro yang berpihak pada masyarakat, tetapi gagasan ini kurang dipahami dengan baik sebagian besar fasilitator pengawal program, mungkin  implementasi gagasan besar ini tidak memiliki desain dan bentuk yang dimaksud, sehingga kebanyakan fasilitator terjebak, dan akibatnya memasung gagasan besar program tentang pelembagaan keuangan mikro pada wilayah praktis dan prakmatis, anehnya lembaga keuangan mikro yg dimaksud adalah UPK ( Unit Pengelolah Kegiatan PNPM Mandiri perdesaan di Tingkat Kecamatan).
Mungkin kita sepakat bahwa pendekatan kelompok dalam pemberdayaan adalah final. Sehingga Dalam kaitan dengan pelembagaan keuangan mikro PNPM Mandiri Perdesaan sebagaimana dalam salah satu tujuan khususnya, tentu kelompok yang dibentuk akan didorong untuk menjadi kelompok mandiri atau lembaga keuangan mikro di desa yg mandiri. Seingga salah satu ukuran keberhasilan program adalah seberapa jauh kemandirian kelompok-kelompok SPP yang telah dibina bertahun-tahun, ataukah memang Program PNPM Mandiri Perdesaan sama sekali tidak memiliki niat secara keprograman untuk mengantar kelompok SPP menuju kemandiriannya. Ini penting menjadi bahan renungan kita, karena jika tidak, saya takut kita telah terjebak pada wilayah eksploitasi perempuan, mengingat sistem dan mekanisme simpan pinjam yang diterapkan, menyalahi asas keadilan dan tidk keberpihaan pada klp perempuan.

Kamis, 24 Mei 2012

Mengintip Kelahiran PNPM Pusaka: The Next Generation of PNPM Mandiri


Pelaksanaan PNPM Mandiri selama sejak tahun 2007, di nilai cukup positif dalam menanggulangi kemiskinan yang ada di Indonesia. Melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat yang mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah mufakat, PNPM mampu memberikan ruang pembelajaran dalam pengambilan keputusan yang demokratis. PNPM sendiri di rencanakan akan selesai pada tahun 2014. PNPM Sendiri seperti yang kita terdiri dari berbagai macam program seperti PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Perkotaan / Program Pegembangan Kecamatan Perkotaan (P2KP), PNPM Generasi, PNPM Paska Bencana, PNPM Paska Krisis, PNPM Integrasi, PNPM PISEW, PNPM Pariwisata dan lain sebagainya.
Timbul pertannyaan dari kita, lantas akan ada program apa sebagai pengembang dan penerus dari PNPM? Pihak depdagri menyatakan bahwa akan ada kelanjutan dari program PNPM yang system dan mekanismenya tidak terlampau jauh berbeda dengan PNPM. Meski belum di putuskan apakah masih menggunakan nama PNPM kembali ataukah ganti baju dengan nama yang lain.
Jawaban atas pertanyaan itu sedikit terungkap, saat saya membaca status Facebook dari Deputi Kemenkokesra, Sujana Royat yang menyatakan bahwa akan lahir generasi baru dari PNPM yaitu PNPM Pusaka.
Menurut beliau, PNPM Pusaka diharapkan dapat mendorong kelompok-kelompok masyarakat peminat kebudayaan lokal untuk mencintai dan melestarikan budaya, adat istiadat, kuliner, seni dan tata krama budaya lokal dan menerapkan dalam kehidupannya menjadi lebih berbudaya (culturally vibrant), dan akhirnya bila ini bisa dilakukan di semua tempat maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat kembali, bukan pengejar materi dan kekuasan dan sering di adu domba dan dimanfaatkan oleh berbagai kelompok kepentingan.
PNPM Pusaka rencananya akan di luncurkan serempak di berbagai kota bulan Agustus setelah Hari Peringatan Proklamasi Kemerdakaan Indonesia untuk menjadi gerakan nasional untuk mencintai budaya lokal. Aspek yang di sentuh dalam PNPM Pusaka adalah dimensi ketiga dari kemiskinan yaitu kemiskinan budaya, akhlak dan tata krama. Setelah sebelumnya dimensi kemiskinan harta dan kemiskinan ilmu, yang telah di sentuh melalui PNPM Mandiri.
Mungkin akan saya kutip status Facebook Sujana Royat yang di tulis pada awal bulan Mei 2012.

Sabtu, 14 April 2012

Relevansi Sarjana dan Menjadi Pengusaha


Dalam beberapa kesempatan, banyak kalangan akademisi, motivator, bahkan pejabat Negara Republik Indonesia ini yang menyarankan, menghimbau, mendorong agar para lulusan sarjana dapat menjadi entrepreneurship muda yang sukses. Ya minimal tidak menambah beban Negara dan orang tua. Karena sungguh sangat menyesakkan menjadi seorang pengangguran. Sudahlah di biayai dari kecil sampai dewasa, eh malah sudah dewasa masih saja menyusahkan orang lain. Dan saya yakin tidak ada orangpun di dunia ini yang mau bernasib seperti itu. Hanya terkadang peluang kesempatan, latar belakang pendidikan, etos kerja serta keadaan lain yang belum berpihak sehingga ujungnya adalah nasib jelek yang di persalahkan.
Dengan semakin sempitnya kesempatan kerja yang tersedia, salah satu upaya pemerintah untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dengan Negara-negara yang lain adalah memacu masyarakatnya untuk giat menjadi pengusaha. Melakukan usaha mandiri apa saja yang penting tidak tergantung kepada kuota lowongan pekerjaan yang di tawarkan perusahaan-perusahaan. Data menunjukkan bahwa jumlah pengusaha yang ada di Negara ini tidak lebih dari 10% jumlah penduduknya. Bila di lihat dari kekayaan sumber daya alam Indonesia yang dapat di olah, sungguh sangat ironis dan menimbulkan pertanyaan. Dari rumput, pohon, daun, batu, pasir, tanah, enceng gondok saja dapat di tingkatkan nilai ekonomisnya dan di jadikan usaha, kok yang mampu menjadi pengusaha sangat sedikit sekali.
Secara harfiah, pengusaha secara sederhana dapat di katakan sebagai orang yang berusaha. Tentunya yang spesifik dalam usaha ekonomi.  Saya tidak mengetahui apakah mbok-mbok bakul yang berjualan dagangannya di pasar-pasar, ibu-ibu yang membuka warung di pinggir jalan, bapak-bapak penderes aren atau apapun saja profesi yang menggerakkan sector ekonomi mikro juga di sebut sebagai pengusaha. Indikator pengusaha itu apa. Waallahualam. Itu masih menjadi misteri di kepala saya. Karena bila di katakan yang di katakan pengusaha itu yang harus punya NPWP, punya ijin usaha, memiliki badan usaha PT, CV, Persero atau apapun, sesungguhnya telah mengkhianati makna kata pengusaha itu sendiri.

Jumat, 06 April 2012

Sebagai salah seorang pelaku pemberdayaan saya banyak menemui bahwa peran-peran strategis di Desa tidak berlangsung secara optimal seperti yang di amanatkan oleh program. Bukan berarti semua Desa pelakunya tidak optimal, namun dari kacamata pengalaman saya, hampir rata-rata pelaku di Desa terkadang terpusat hanya kepada orang-orang itu saja. Meskipun dalam PNPM, telah terbentuk pelaku-pelaku yang di syahkan pada saat Musyawarah Desa (MD), namun kualitas yang di harapkan belum dapat dikataka menggembirakan.
Salah satu peran pelaku yang selama ini di pandang penting namun terlupakan adalah KPMD. Kader Desa yang di bentuk PNPM yang mengemban tugas dalam hal memfasilitasi segala mediasi, konsultasi, evaluasi dan monitoring terhadap kegiatan PNPM di desa tersebut dengan supervise dari Fasilitator Kecamatan. Singkat kata KPMD adalah pengendali pelaksanaan program di Desa untuk memastikan bahwa kegiatan program berjalan sesuai dengan prinsip dan prosedur PNPM, meskipun dalam beberapa hal kewenangannya di batasi. Yaitu hanya dalam soal pencairan dana proyek PNPM saja tidak memerlukan KPMD. Karena pencariran dana mutlak di sertifikasi langsung oleh Fasilitator. Meskipun tidak di larang apabila KPMD memberikan rekomendasi kepada Fasiliator kaitanya dengan pelaksanaan kegiatan desa.

Menggugat Teori Kebutuhan Maslow

Awalnya dulu saya tidak begitu perduli dengan teori-teori akademis yang berkembang untuk mempelajari perilaku manusia. Karena perilaku manusia sangat sulit untuk kita rumuskan karena begitu banyak mengandung probabilitas. Meskipun kita telah mengumpulkan data, meneliti sampai detail dari berbagai macam sudut pandang ilmiah, membandingkan teori ini dan teori itu namun kesimpulan akhirnya adalah bahwa manusia itu sulit di tebak. Tidak heran maka muncul beberapa ungkapan seperti “dalamnya laut dapat di ukur, hati orang siapa yang tahu” dan ada juga “rambut sama hitam, hati orang siapa yang tahu” dan masih banyak lagi. Tinggal anda cari sendiri, dan bahkan mungkin dapat anda ciptakan sendiri.

Dari latar belakang itulah maka saya sedikit ingin mempertanyakan teori kebutuhan yang di perkenalkan oleh Abraham Maslow. Bukan berarti saya lebih pintar dari beliaunya. Dan bukan berarti saya memiliki teori yang melebihi teorinya. Namun ini hanya sebuah tangkapan atas pandangan-pandangan pribadi saya. Dan tidak bisa di pastikan bahwa saya juga benar seratus persen. Silahkan di koreksi bila ada yang salah.
Teori maslow merupakan salah satu penjabaran untuk mempelajari tentang perilaku  manusia untuk mencapai kebutuhannya. Gagasan kebutuhan manusia itu di jabarkan dalam piramida 5 tingkat. Yang pertama atau  tingkat paling bawah adalah kebutuhan fisik (Physiological Needs) yang menjelaskan tentang kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisik. Yaitu bahwa manusia harus terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan sandang, pangan, papan. Kebutuhan ini di pandang sebagai kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi karena  apabila tidak terpenuhi maka akan terjadi keadaan yang sangat ekstrim yang menyebabkan manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri. Pabila kebutuhan dasar ini sudah terpenuhi maka akan muncul kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs).

Kamis, 05 April 2012

Metamorfosa Blog : Sebuah Pilihan Konsep

Ketika kita hidup tentu akan selalu di hadapkan oleh sebuah pilihan-pilhan. Terkadang pilihan tersebut berat untuk diputuskan, karena penuh dengan pertimbangan argumentasi yang latar belakangnya bisa bermacam dan tentu beda antara satu dengan yang lainnya. Intinya bila kita ingin terus hidup, ya harus dapat menentukan pilihan-pilihan yang mudah-mudahan menjadi pilihan yang terbaik untuk kita.
Begitupun dengan blog ini. Ketika pertama saya membuat blog, mungkin karena iseng saja ataupun juga karena latah atau ikut-ikutan trend mode saja. Dengan awalnya membuat konsep di dalam blog ini merupakan blog gado-gado yang berisi bermacam-macam informasi-informasi atau apapun saja yang layak “di jual” di Internet. Terkadang banyak posting yang tidak konsisten, namun motivasinya adalah hanya sebatas menaikkan rank blog saja. Sehingga terdapat beberapa postingan yang terkesan hanya untuk memenuhi blog saja.

Selasa, 03 April 2012

Selasa, 27 Maret 2012

PERANG MINYAK


Perang minyak telah di tabuh. Demo kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) serentak dilaksanakan di kota-kota besar Indonesia, yang di prediksi akan memuncak pada hari Selasa (27/3) bersamaan dengan rapat paripurna DPR. Gelombang penolakan rakyat atas rencana pemerintah itu telah membuat apa yang di sebut para ekonom sebagai multiplier effect. Sebelum kenaikan harga BBM di yang akan di tetapkan per tanggal 1 April 2012 telah di dahului oleh harga-harga kebutuhan pokok yang membumbung tinggi. Para mahasiswa kembali turun ke jalan, menggalang massa untuk menyuarakan penentangan kenaikan BBM. Mereka mengadakan koalisi dengan seluruh rekan se-Indonesia dengan di dukung oleh ormas, lembaga-lembaga independent, dan berbagai macam elemen yang memiliki visi yang sama. Setelah sebelumnya dilakukan beberapa demo secara parsial dan sporadic di Indonesia, mereka telah merencanakan unjuk rasa kembali secara massive yang akan di pusatkan di depan gedung DPR.

Menyikapi hal tersebut Pemerintah sigap untuk menghadang rencana “perang” massa itu dengan memerintahkan POLRI dan TNI untuk menjadi garda depan. Meskipun menjadi problematic sendiri ketika TNI harus turun tangan mengamankan para pendemo. Banyak pihak menilai pengerahan TNI tidak sesuai dengan fungsinya. Yang seharusnya berfungsi untuk menjaga atau mengamankan kedaulatan NKRI dari pihak asing, ini malah di hadapkan kepada rakyat sendiri. Dan yang terjadi adalah benturan yang berujung kekerasan. Meskipun ada nada-nada sumbang bahwa itu terjadi karena ada provokasi, karena di tekan duluan atau apapun saja. Namun yang pasti, moment tersebut membuat kepercayaan publik kepada pemerintah SBY merosot tajam. Pertanyaannya adalah apakah mengemukakan ketika rakyat mengemukakan pendapatnya lantas sudah mesti dituduh subversif? Apakah ketika melaksanakan demonstrasi, sudah di curigai akan melakukan perusakan-perusakan atau penjarahan massal. Ataukah merupakan ketakutan penguasa negeri ini akan terjadinya demonstrasi seperti 1998.

Sabtu, 24 Maret 2012

Dahlan Iskan, Protokoler Kenegaraan dan Penghancuran Politik Pencitraan

Di headline News pagi tadi (20/3), media online ramai memberitakan kembali sepak terjang Menteri BUMN. Pak Menteri mencak-mencak di Pintu Tol Semanggi arah ke Slipi karena terjadi antrean panjang mobil yang akan masuk ke Pintu Tol. Padahal beliau sudah sering menginstruksikan kepada Jasa Marga, agar antrean dalam pintu tol maksimal adalah 5 mobil. Namun ketika pagi itu beliau ikut terjebak dalam antrean panjang 30 mobil, dan melihat ada dua pintu dari empat pintu yang tidak di fungsikan, beranglah Pak Menteri. Beliau keluar dari mobil dan masuk dalam loket yang tidak ada operatornya dan serta merta membuang kursi yang ada di dalamnya. “Tidak ada gunanya kursi ini,” Ujar beliau di kutip dari Humas Kementrian BUMN. Bahkan untuk menormalisasikan antrean panjang yang terjadi, beliau sempat menggratiskan kurang lebih 100 mobil. “Kalau Jasa Marga merasa rugi, suruh tagih ke saya,” katanya.
***
Kejadian tersebut menjadi catatan tambahan dari sepak terjangnya selama ini yang yang dianggap out of mainstream dari pelaku para pejabat publik di negara ini. Di tengah gelombang hipokrisi dan megalomania yang tinggi, Dahlan Iskan hadir dengan terobosan serta akselarasi yang mengundang perhatian khalayak. Beberapa kali beliau membuat keputusan dan tindakan yang tidak lazim dilakukan. Meskipun banyak yang memuji, namun tidak sedikit pula yang mencibir adanya pencitraan di balik semua itu.
Memang, kita selama ini telah di didik oleh suatu system kelembagaan Negara yang membuat kita merasa sudah sampai pada tingkat tidak percaya. Perilaku korup, kepentingan politis, kebijakan yang selalu jauh dari amanat rakyat membuat kita di serang dengan gelombang ketidakpercayaan, sinisme dan apatis terhadap segala kebaikan yang terjadi di negeri ini. Membuat kita tidak memiliki kepekaan dan daya analisa tentang apapun saja. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, kita merupakan generasi kampong yang rentan terhadap segala informasi. Kita selalu gagal untuk menempatkan kuda-kuda pikiran dan sikap kita, sehingga ketika ada yang baik selalu kita anggap itu pencitraan dan yang buruk selalu kita kutuk sampai mampus. Dan lebih celakanya pernyataan seperti itu seringkalinya lahir dari like and dislike dan bukan lahir dari fakta, analisa dan realitas yang ada.

Minggu, 18 Maret 2012

Proses Partisipatif Vs Proses Politis dan Teknokratis


Geliat pemberdayaan yang telah berlangsung selama ini cukup memberikan dampak yang positif bagi kemandirian dan pembangunan di masyarakat. Dengan konsep block grant pendanaan di tingkat kecamatan yang di alokasikan dari share antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, membuat masyarakat yang dulunya hanya menjadi objek pembangunan secara perlahan-lahan bertransformasi untuk menjadi subjek pembangunan. Dengan pelimpahan kewenangan yang di atur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah, masyarakat berperan untuk menjadi pelaku utama pembangunan yang dilaksanakan secara swakelola dan partisipatif. Berpartner dan berdialektika dengan pemerintahan untuk menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat.
PNPM yang hadir membawa bendera pemberdayaan yang mempunyai muatan-muatan perencanaan bottom up, merupakan jawaban dari semakin tidak menentunya proses perencanaan pembangunan kita.  Kegiatan Musrenbanbag (Musyawarah Rencana Pembangunan) yang mendasari dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mempunyai banyak kelemahan dalam pelaksanaannya.
Musrenbang yang sejatinya menjadi proses perencanaan pembangunan, banyak menuai kritik dari para delegasi masyarakat. Proses transparansi yang minim dan penuh retorika politik membuat Musrenbang semakin ompong giginya untuk menjawab persoalan masyarakat.
Dalam tataran konseptual, tidak ada yang salah dalam mekanisme perencanaan ini. Setelah di lakukan sosialisasi Pra Musrenbang oleh Bappeda, maka masyarakat segera melakukan penyelenggaraan musyawarah untuk menentukan arah pembangunan desa mereka dengan mengacu kepada Penggalian Keadaan Desa (PKD) yang dilakukan sebelum Musrenbangdes. Dalam PKD, minimal aspirasi masyarakat telah di akomodir semuanya yang akan menjadi landasan dalam pembuatan RPJMDes maupun RKPDes. Setelah siap dengan data-data potensi, masalah dan usulan, maka usulan akan di ajukan untuk di prioritaskan perencanaan satu tahun mendatang. Usulan-usulan itu akan di tampung dan di akan di naikkan di tingkat Kecamatan.

Degradasi Fungsi Mulut dan Transformasi Komunikasi


Kadang bicara dengan benda mati dan menganggapnya hidup lebih mengasyikkan...Mungkin karena mereka lebih patuh dan minim dusta.! #Absurd.


Berbicara, berdiskusi ataupun berinteraksi terkadang lebih menyenangkan dengan benda yang jelas-jelas tidak punya mulut. Bukan berarti saya mengecam karunia mulut yang di berikan Tuhan, atau tidak mensyukuriNya. Pada saat moment atau situasi tertentu, kita seringkali menjumpai hal-hal merepotkan yang bersinggungan dengan mulut. Mulut terkadang mendendangkan lagu-lagu manis, janji manis dan berbagai ungkapan tentang keindahan namun mulut juga seringkali membuat kita patah hati dengan memberikan kebohongan, komentar kasar, ungkapan-ungkapan sinis dan menyesakkan.

Mulut dan lidah merupakan suatu paket tidak terpisahkan dari diri kita dalam berkomunikasi dengan makhluk lain sejenis. Dalam artian mulut dan lidah yang menjadi medium utama kita untuk menyampaikan gagasan, ide, pandangan, informasi dan apa saja yang ingin kita sampaikan kepada orang lain. Mulutpun menjadi senjata utama kita untuk mempengaruhi orang, meskipun ada medium lain seperti misalnya melalui tulisan.

Namun pola komunikasi yang di bangun oleh mulut ini, ternyata tidak terlepas dari element-element yang kita bangun dalam diri kita. Segala hal yang menyangkut ide dan pandangan kita ternyata tidak cukup bila di akomodasi hanya dengan sebuah mulut saja. Maksud saya, mulut dalam muatan penyampaiannya jelas di pengaruhi tidak hanya sebatas kharisma anda, kewibawaan anda atau  informasi yang anda miliki namun juga misalnya apakah posisi anda di lingkungan sosial, posisi jabatan anda di kantor, ketenaran anda di ruang publik, seberapa sering anda masuk TV, intervensi sosial anda atau apakah anda dekat pak pejabat anu atau bu  pejabat itu, dan masih banyak unsur yang lain. Gamblangnya adalah apabila anda tidak punya status sosial penting sekurang-kurangnya menduduki jabatan dalam struktur birokrasi, atau tidak punya uang untuk membayar orang lain untuk mendengarkan ceramah anda, maka hampir d pastikan bahwa mulut anda tidak akan berfungsi maksimal dan hanya menjadi gemeramangan saja.

Hal semacam itu juga tidak hanya dalam lingkup pergaulan yang besar dan luas yang berskala nasional, namun juga merambah sampai ke lingkup pergaulan individu kita. Kita dididik oleh suatu budaya dimana kita hanya sanggup mendengarkan “orang penting” saja, namun tidak pernah terbiasa untuk mendengar “orang biasa” berbicara baru kita nilai ucapannya baik atau tidak, pemikirannya bagus atau tidak. Kita sudah menganggap bahwa mulut para “orang penting” itu segala-galanya benar dan tidak ada yang berani membantah. Karena “orang penting” itulah penentu akses kebutuhan kita baik dalam bidang ekonomi maupun politik . Disanalah terletak nasib masa depan kita pribadi sehingga kita tidak kuasa untuk berbeda pandangan. Kalau anda di luar struktur itu, maka anda menjadi antagonis atau setidaknya oposisi yang nasibnya anda tentukan sendiri. Kalau mulut anda lebih keras suaranya dari kompetitor anda maka anda akan di dengarkan, namun bila anda tidak mempunyai apa-apa, silahkan anda mencari dana santunan untuk menjamin kelangsungan hidup anda.

Sabtu, 17 Maret 2012

Lowongan Dosen Universitas Brawijaya


Lowongan Dosen Tetap Non-PNS Program Studi Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya membuka lowongan untuk menjadi Calon Dosen Tetap Non-PNS pada Program Studi Ilmu Pemerintahan, dengan kualifikasi sebagai berikut:

· Pendidikan S1 Ilmu Pemerintahan.

· Pendidikan S2 Ilmu Pemerintahan atau yang serumpun (Ilmu Politik, Administrasi Publik, Kebijakan Publik) atau minimal sedang dalam proses penyelesaian tesis.

· Diutamakan yang memiliki pengalaman dalam dunia pendidikan dan penelitian dalam lingkup ilmu sosial dan politik.

· Memiliki komitmen terhadap pengembangan keilmuan Pemerintahan.

· Bersedia mengikuti tes penerimaan dosen tetap Non-PNS yang
diselenggarakan Universitas Brawijaya.

Surat lamaran ditujukan kepada Dekan FISIP Universitas Brawijaya, Dilengkapi dengan daftar riwayat hidup (CV), fotokopi (scan) ijazah dan transkrip nilai S1 dan S2, pas foto 4x6 2 lembar (scan), fotokopi (scan).

Surat lamaran beserta kelengkapan berkas, dikirimkan via email ke: a.azis@ub.ac.id atau aswin.oz@gmail.com

--
Aswin Ariyanto Azis, S.IP, MDevSt
Head of Government Department Faculty of Social and Political Science
University of Brawijaya,
Malang
INDONESIA



Jumat, 16 Maret 2012

Pemberdayaan dan Proses Penyadaran


Kasus fraud yang menghentak program pemberdayaan di rasa menjadi sebuah tamparan keras. Sebuah harian nasional memberitakan bahwa total dana yang di selewengkan mencapai angka sebesar 220 Milyar Rupiah yang terakumulasi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Sebuah angka fantastis untuk ukuran sebuah program pemberdayaan yang di gadang-gadang sebagai program pemberdayaan terbaik dan tersukses di negeri ini. Itu angka dari data yang tercatat, yang di laporkan dan di temukan. Untuk kasus-kasus yang belum di ketahui atau di laporkan masih mungkin angkanya menjadi lebih besar.
Kasus tentang penilapan uang program oleh konsultan, birokrat, pelaku pelaksana dari tingkat desa sampai tingkat atas, uang siluman untuk meloloskan kegiatan proyek, pemotongan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab masih mendominasi dan mewarnai perjalanan program. Dan ini hampir secara merata terjadi di setiap lini. Meskipun tidak bisa di bandingkan dengan kasus korupsi raksasa di negeri ini, namun setidaknya ini sudah harus menjadi catatan merah sekaligus warning bagi kita untuk menyelamatkan uang rakyat yang telah diamanatkan untuk pembangunan.
Program pemberdayaan hadir di tengah stigma negative masyarakat akan pembangunannya. Berpuluh tahun masyarakat tidak pernah di ikutkan serta di libatkan dalam proses pembangunan desanya, sehingga lambat laun menggumpal kesadaran bahwa yang memiliki uang adalah Pak Kades, Camat, Bupati hingga Presiden. Rakyat merasa tidak punya hak apa-apa untuk ikut berpartisipasi. Karena toh berpartisipasi saja juga belum tentu ada hasilnya yang nyata, yang dapat di rasakan langsung oleh mereka. Seringkalinya yang mereka dapatkan adalah semacam hadiah, gula-gula permen asam manis pembangunan, yang kadangkala kurang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Dan hasilnya masih terdapat kegiatan proyek pembangunan yang mangkrak dan tidak dapat digunakan secara optimal.
Rakyat juga masih terkesan menganggap segala program yang hadir di desa mereka adalah bantuan pemerintah. Proyek. Bukan atas dasar kesadaran bahwa itu hak mereka sebagai warga negara untuk juga ikut menikmati pembangunan yang adil dan merata. Yang dapat meningkatkan harkat dan kesejahteraan bersama. Imunitas cultural ini sungguh sangat mengkhawatirkan dan memprihatinkan. Dengan kosmologi pemikiran seperti itu, maka mayoritas masyarakat menjadi apatis dan cuek terhadap pembangunan. Mereka kadangkala tidak mau perduli, acuh, cuek dengan segala proses pembangunan di desanya. Karena menurut mereka memang membangun itu tugasnya pemerintah.

Sabtu, 10 Maret 2012

Dering SMS



H
andphone itu kembali berdering untuk kesekian kalinya. Sayup-sayup terdengar di telinga dengan suara khasnya yang menandakan bahwa ada pesan masuk di HPku. Aku masih sedikit tersadar dari lelap tidurku. Kukumpulkan tenaga, untuk mengusir kantuk. Dengan sedikit malas ku raih Handphone itu di atas meja, di sebelah komputer bututku. Kulihat ada empat panggilan tak terjawab dan satu SMS. Ku buka pesan tersebut.
Kok ga’ diangkat??!!Lagi apa????!!”
Ku jawab dengan singkat.
Maaf.....tadi lagi tidur...Semalaman belum tidur....Ada apa?”
Ku rebahkan tubuh ini lagi di ranjang kasur kamar kosku. Capek dan lelah tubuh ini, setelah tadi malam lembur bikin tugas analisa makroekonomika yang di deadline untuk harus selesai dan di kumpulkan pada jam 9 pagi tadi, sebagai tugas pra-syarat untuk mengikuti ujian akhir semester pada hari senin depan. Demi ujian itulah aku harus begadang tiap malam, agar tidak mendapat nilai E yang sudah di janjikan dosen kami jika sampai mahasiswanya tidak membuat tugas akhir. Itu artinya sangat jelas, apabila gagal, mengulang kembali lagi di semester tahun depan. Dan itu merupakan  konsekuensi yang mengerikan mengingat kami sudah mencapai akhir semester. Sebuah intimidasi terselubung aku pikir. Namun kami tak kuasa menolak apalagi membantah. Begitulah psikologi orang yang lemah daya tawarnya. Tidak bisa berbuat apa-apa, namun hanya menggeremang dan mengutuki saja namun tidak bisa merubah apapun. Tidur. Istirahat kembali untuk nanti malam menyiapkan energi.
Belum sempat aku terlelap, aku di kagetkan kembali dengan suara telepon yang meraung-raung tepat di sebelah kupingku. Brengsek. Siapa lagi yang mengganggu tidur ini. Kulihat  nama yang muncul di layar handphone. Aku mendesah. Namun tetap kuangkat telepon itu.

-----------------------------------0000---------------------------------

Kamis, 08 Maret 2012

Kuliah itu Ternyata “Tidak” Penting


Bila membaca judul di atas mungkin kita akan sedikit mengernyitkan dahi. Karena dimanapun, entah di jaman dahulu atau atau sekarang, entah di kota atau di desa, entah kaya atau miskin, kita semua bersepakat bahwa melanjutkan kuliah itu merupakan suatu hal yang penting, yang kita upayakan sedemikia rupa agar kita dapat menikmati empuknya bangku kuliah. Meskipun lading atau hewan ternak orang tua kita menjadi tebusan. Yang penting cita-cita kuliah itu harus nomor satu, karena beberapa alas an. Tentunya yang pertama adalah mendukung program pemerintah untuk wajib belajar. Kedua, dengan kuliah kita mendapatkan sebuah ijasah dan gelar yang tidak semua orang berhak menyandangnya. Sehingga akan sedikit banyak meningkatkan gengsi dan harga diri kita di hadapan calon mertuan kita kelak. Dan Ketiga adalah dengan kuliah kita mendapatkan pintu untuk mengakses pintu-pintu perusahaan bonafide, meskipun alas an yang ketiga ini masih bisa di perdebatkan karena fakta empiris saat ini malah sarjana pengangguran sangat tinggi sekali. Sehingga kita bisa alas an kembali kaitannya dengan pentingnya kuliah, “ Kalau yang sarjana saja sulit mendapatkan pekerjaan, apalagi yang Cuma lulusan SMP dan tidak sekolah”. Maka kita diam-diam juga ok untuk mendukung gerakan untuk kuliah.
Meskipun juga harus ada argument-argument klise seperti kuliah itu untuk menuntut ilmu, menguak rahasia keajaiban alam yang terhampar. Menjadi sang pencerah dalam membaca tanda alam melalui ilmu pengetahuan. Sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat melalui riset-riset ilmiah.
Namun mayoritas ketika di telusuri lebih dalam lagi, ujungnya adalah sama: setidaknya nanti dengan kuliah dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang lebih dari layak. Untuk urusan ilmu pengetahuan, itu kita pinggirkan untuk menjadi kosmetik wajah ketika kita berhadapan dengan orang lain. Sepenuhnya kita lebih berharap kepada pengakuan saja yang tercetak dalam lembaran ijasah.

Rabu, 07 Maret 2012

Konsistensi : Sebuah formulasi masa depan


Konsisten itu muatan ketetapan hati

Prinsip hidup yang menjaga kita

Kalau kita berbicara tentang hal konsistensi di semua aspek kehidupan kita, jawaban umum yang sering kita terima adalah berbagai keluhan, nada-nada menggeremang, suara-suara apatis dan sedikit nyinyir. Konsistensi dijadikan bahan wacana, bahan keilmiahan di ruang-ruang simposium, materi dalam presentasi para pakar psikologi bahkan muncul dalam nasihat kuno orang tua dalam menasihati anak-anaknya sebagai salah satu landasan awal menuju kesuksesan masa depan meskipun itu hanya terbatas dalam rumbaian kata-kata bijak saja. Meskipun implementasi dalam kehidupan dipastikan seringkali kita mengalami kegagalan menerjemahkannya dalam hidup kita. Apa makna, inti, metoda dan arti dari konsistensi. Para pakar psikologi, para pengembang dan peneliti tingkah laku manusia, staff HRD, Kyai, Pendeta, guru-guru di jaman modern ini dengan gampang akan memberikan definisi yang gamblang kepada anda. Atau bahkan anda tidak pernah butuh analisa dan keterangan dari mereka, karena anda sendiri sebenarnya mengetahui apa itu arti konsistensi. Namun, kita ketahui bersama, sungguh bagai menegakkan benang basah dalam menerapkan hal ini dalam diri kita. Meskipun kesulitan itu tidak sama dan searti dengan tidak mungkin.

Manusia mempunyai kecenderungan psikologis dari SonoNya yang memang sudah menjadi naluri untuk selalu bergerak dinamis. Dinamis dapat diartikan dengan dengan suatu gerak perubahan untuk menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi sekitar. Hal tersebutlah yang menjadikan manusia dari zaman purba sampai jaman reformasi infomasi yang gegap gempita ini untuk selalu bertahan dari keadaan dan tekanan yang dihadapinya untuk menciptakan penemuan-penemuan dan perubahan-perubahan dalam hidup manusia itu sendiri. Perubahan itu bisa dalam cara perilaku manusia yang salah satu faktornya adalah di awali terlebih dahulu dengan perubahan-perubahan gaya hidup yang terkait dengan perubahan teknologi pendukung dalam kemudahan hidup manusia.

Antara Profesi dan dedikasi

Kadangkala kita sebagai warga negara biasa yang tidak mempunyai jabatan dan pemangku kepentingan di sebuah lembaga instansi yang bonafide, atau katakanlah tidak menjadi bagian dalam sebuah struktur pemerintahan di negeri ini seringkali mengungkapkan nada-nada minor tentang pegawai negara atau lazimnya yang kita sebut sebagai pegawai negeri sipil. Kita seringkali iri begitu melihat hal-hal yang menyangkut kesejahteraan untuk para PNS tersebut. Kerja sudah enak, berangkat bisa jam berapa saja, mau masuk atau tidak juga tidak masalah, sampai kantor tidak tahu apa yang mau di kerjain sehingga seringnya hanya duduk ngobrol, merokok bas-bus, minum teh dan makan minum d warung sampai lepas tengah hari dan setelah itu bisa pulang dan menikmati keharmonisan di keluarga atau meneruskan berbelanja d mall.

Kalau kita orang awan atau orang Non-PNS menderet ke-enakan manjadi PNS, akan banyak sekali daftar yang kita temukan. Namun apabila sebaliknya kita mendaftari ke-susahannya menjadi PNS, sedikit sekali yang kita temukan, atau bahkan tidak menemukan sama sekali. Karena catatan-catatan kita seringkali masih d susupi dengan iri dengki dan ingin mencari keburukan orang. Hmm..kata orang, sudah manusiawi.

Namun, cerita dari seorang sahabat di negeri seberang ternyata malah berbanding terbalik dari analisa umum masyarakat tentang PNS. Dia sosok seorang pekerja yang brillian, cerdas dan berdedikasi. Dia pandai melakukan analisa perencanaan, pintar dalam statistika, memiliki pemahaman akuntansi dan perbankan yang bagus, dan juga mempunyai keahlian sebagai seorang supervisor yang handal. Namun yang lebih hebat dari itu semua adalah integritas moralnya, kebersihan hatinya dan kejujuran perilakunya. Singkat kata dia adalah seorang pekerja profesional yang cerdas, bertakwa dan berakhlak mulia, persis seperti harapan Bangsa Indonesia kepada para pemuda dan pemudinya.
Segala keunggulannya tersebut membuat dia jadi center of excellent d kantornya, namun keunggulannya itulah yang membuat dia menjadi "celaka". Ketika dia mampu menyelesaikan segala tugas yang di embankan kepadanya dengan gilang gemilang, maka lambat laun segala tugas dengan seenaknya di bebankan kepada dia. Apa saja yang berbau tugas, langsung dialah yang jadi sasaran tembaknya untuk mengerjakan. Sahabat saya itu sudah mencapai tataran "trust" alias dapat di percaya. Sehingga apapun yang dia kerjakan, pasti akan mendapatkan pengakuan dari atasannya. Sehingga tidak ada yang salah ketika atasannya mempercayakan tugas-tugas penting kepada dia. Sekali dua kali dia menikmati pekerjaan itu. Namun ketika hal tersebut berulang kali, berminggu-minggu, bulan berganti, tahun berubah namun juga tidak ada perbedaan, dia merasa tugasnya itu mencekik leher. Ketika sudah hampir mencapai puncak beban kerja dia menjadi drop dan ternyata apa yang dia kerjakan ternyata malah menyusahkan dirinya.

Ketika Hujan



Ketika Hujan
Gemericik rindu menyeruak di sela-sela tetesan
Perlahan, namun semakin dalam
Tak ingatkah engkau ketika duduk di sebuah pinggiran taman
Berteduh menunggu hujan sambil kau dekap dan rapatkan badan
Wajahmu tersenyum menyiratkan kenangan mendalam
Menyimpannya dalam berjuta air yang menjadi tergenang
Kita pernah melewatinya
Bermain-main bersama selayaknya sahabat yang lama tak bersua
Bercengkerama dan berharap hujan mendengarkan serta menyimpannya untuk menjadi kisah
Doa dan harapan yang dapat kau tagih kelak di kemudian
Engkau Bercerita
Mendongeng tentang mimpi kehidupan di masa depan
Juga mendendangkan lagu dari masa silam
Kini hanya hujan
Yang kembali menjadi teman di dalam kesepian
Membawa desiran angin kerinduan yang membangkitkan indahnya kenangan
Luruh dan jatuh bersama rinai air
Menjelma menjadi sebuah bayangan yang membawa kantung kedamaian
Kau bangkitkan lagi
Kau menghadirkan dirimu kembali
Menelusup ke dalam jantung imajinasi
Menggoda dengan janji yang pernah kau titipkan dahulu kepada hujan
Kini…..
Ketika Hujan
Gemericik rindu menyeruak di sela-sela tetesan
Perlahan, namun semakin dalam
Gilang Prayoga
Bukateja, 10 November 2011

Senin, 05 Maret 2012

BUDAYA LEBAY, LEBAY YANG MEMBUDAYA


 
Idiom lebay, entah dari muatan psikologis apa asal-usul kata tersebut muncul dan menjadi trending istilah di kalangan anak muda. Segala sesuatu yang di anggap kampungan, ketinggalan jaman, ndeso, norak atau apapun saja akan segera mendapat stempel lebay. Dari mode pakaian, gaya hidup, pemikiran, ungkapan kata, hasil pemikiran, sampai gaya bicara. Anda jangan sampai salah ucap, karena tuduhan keji itu bisa-bisa akan beralamat juga kepada Anda. Dan tulisan ini pun jika di pandang dengan perspektif seperti itu mengandung elemen lebay juga.

Tapi tunggu dulu, lebay itu sebenernya mahluk apa. Dengan kacamata model apa kita memandangnya secara objektif. Sepanjang yang kita ketahui, lebay secara harfiah merupakan plesetan kata dari lebih, meskipun masih bisa di perdebatkan darimana asal-usul kata ini dan faktor apa-apa saja yang melatarbelakangi munculnya kata tersebut. Sedangkan bagi orang yang mempunyai indikasi lebay, dinamakan alay. Lebay menjadi olok-olokan yang secara umum disepakati bersama-sama untuk menunjukkan kenorakannya. Norak karena berbeda dengan kalangan umum.

Yang jadi permasalahannya adalah legitimasi dari siapakah yang bisa mencap seseorang dan tindakannya itu lebay atau tidak.

Minggu, 04 Maret 2012

Bangun Pagi dan Sebuah Kebiasaan


Saya termasuk dari banyak orang yang sulit untuk bangun pagi. Entah kenapa, saya selalu malas bila bangun cepat-cepat di pagi hari. Saya selalu bangun ketika memang sudah mepet waktunya untuk berangkat bekerja. Ketika masih dalam buaian mimpi di atas kasur, meskipun Blackberry sudah di setel alarm yang menurut saya masih pagi (karena jam pagi setiap orang tentu berbeda-beda), selalu timbul rasa enggan untuk dapat beranjak bangun dan mulai aktivitas. Dan seringkali selalu niat untuk bangun pagi selalu kalah dengan hasrat tidur kembali.

Mungkin juga sebuah pembenaran subjektif, kalau saya selalu bangun siang di karenakan hampir setiap malam begadang sampai larut, yang jadinya waktu tidur menjadi terdiskon besar-besaran. Bila standart jam tidur bagi orang dewasa adalah 6-8 Jam, maka dengan kebiasaan “melek malam” itu membuat waktu tidur saya menjadi hanya 3-4 Jam saja.  Waktu tidur yang di rasa kurang dari standart normal itu menyebabkan aktivitas di siang hari menjadi tidak maksimal.

TINJAU ULANG PNPM : SEBUAH TANGGAPAN


Dari sebuah harian nasional, saya membaca sebuah artikel menarik terkait dengan PNPM. Artikel itu ditulis oleh beliau bapak Zainin Ahmadi, anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan. Dalam artikel tersebut beliau memberikan usulan untuk meninjau ulang kegiatan PNPM. Tinjauan ulang itu berdasarkan 5 alasan yaitu a) penyelenggaraan program menabrak UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (UU-PFM), b) Dana triliunan rupiah PNPM-Mandiri tidak murni dari anggaran pendapatan belanja Negara dan daerah, melainkan dari pinjaman Bank Dunia, c) Program PNPM jauh dari makna pemberdayaan masyarakat, d) Program PNPM-Mandiri tumpang tindih dengan proyek-proyek pembangunan lain karena jelajah PNPM-Mandiri yang tiada batas, e) PNPM sangat politis (Republika, 7 Februari 2012).
Sebagai seorang penggiat serta pelaku pemberdaya masyarakat yang berada di lapangan serta bersentuhan langsung dengan akar rumput, saya merasa harus menyampaikan beberapa tanggapan sekadar sebagai urun rembug, yang motivasinya pasti sama dengan niat baik dari beliaunya bapak anggota dewan  yaitu semata-mata meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak ada motivasi yang terselubung. Beliau mungkin merasa gelisah dengan keadaan PNPM, dan ingin agar pembangunan berjalan sesuai mekanisme sehingga aspek manfaat yang diterima masyarakat dapat maksimal.

PNPM lahir dilatarbelakangi dengan adanya persoalan kemiskinan dan pengangguran yang menjadi masalah utama di negeri ini. Kesenjangan pembangunan antar wilayah yang mencolok, ketimpangan pendapatan yang cukup ekstrim serta buruknya kinerja pemerintahan eksekutif dan legislatif memicu masalah sosial yang tinggi di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, 75% total uang negera ini menggumpal di Jakarta dan sisanya di bagi ke seluruh pelosok negeri. Jakarta menjadi menara gading emas yang menarik masyarakat desa untuk datang dan ikut mengadu nasib. Jakarta menawarkan segalanya. Jakarta memberikan mimpi-mimpi indah. Dan  tidak usah kaget jika arus urbanisasi tidak pernah bisa dibendung apalagi di selesaikan pemerintah. Sedangkan bagi daerah-daerah lain di luar Jakarta, apalagi yang lintas pulau dan jauh dari ibukota, sering kita mendengar tentang minimnya infrastruktur dan sarana prasarana yang di bangun. 

Pemberdayaan dan Proses Penyadaran


Kasus fraud yang menghentak program pemberdayaan di rasa menjadi sebuah tamparan keras. Sebuah harian nasional memberitakan bahwa total dana yang di selewengkan mencapai angka sebesar 220 Milyar Rupiah yang terakumulasi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Sebuah angka fantastis untuk ukuran sebuah program pemberdayaan yang di gadang-gadang sebagai program pemberdayaan terbaik dan tersukses di negeri ini. Itu angka dari data yang tercatat, yang di laporkan dan di temukan. Untuk kasus-kasus yang belum di ketahui atau di laporkan masih mungkin angkanya menjadi lebih besar.
Kasus tentang penilapan uang program oleh konsultan, birokrat, pelaku pelaksana dari tingkat desa sampai tingkat atas, uang siluman untuk meloloskan kegiatan proyek, pemotongan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab masih mendominasi dan mewarnai perjalanan program. Dan ini hampir secara merata terjadi di setiap lini. Meskipun tidak bisa di bandingkan dengan kasus korupsi raksasa di negeri ini, namun setidaknya ini sudah harus menjadi catatan merah sekaligus warning bagi kita untuk menyelamatkan uang rakyat yang telah diamanatkan untuk pembangunan.
Program pemberdayaan hadir di tengah stigma negative masyarakat akan pembangunannya. Berpuluh tahun masyarakat tidak pernah di ikutkan serta di libatkan dalam proses pembangunan desanya, sehingga lambat laun menggumpal kesadaran bahwa yang memiliki uang adalah Pak Kades, Camat, Bupati hingga Presiden. Rakyat merasa tidak punya hak apa-apa untuk ikut berpartisipasi. Karena toh berpartisipasi saja juga belum tentu ada hasilnya yang nyata, yang dapat di rasakan langsung oleh mereka. Seringkalinya yang mereka dapatkan adalah semacam hadiah, gula-gula permen asam manis pembangunan, yang kadangkala kurang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Dan hasilnya masih terdapat kegiatan proyek pembangunan yang mangkrak dan tidak dapat digunakan secara optimal.

Buruk Muka Pemberdayaan Jangan Cermin Yang Di Belah


Diskusi panjang dalam sebuah seminar itu, menjadi sangat menarik ketika tem pemberdayaan dinilai dan dilihat dari sudut pandang yang berbeda dari sebelumnya. Ketika dalam kurun waktu yang cukup panjang, nilai pemberdayaan di anggap telah kehilangan ruhnya, maka diskusi ini menjadi ajang layaknya sebuah oase untuk mencari solusi dari kebuntuan-kebuntuan yang selama ini telah berjalan. Para pengembara pemberdayaan itu, bagai kekurangan bekal air minum untuk menempuh jalur padang pasir pemberdayaan yang sangat luas yang tidak di ketahui mana pangkal dan ujungnya.

Umpamanya ketika di lontarkan tema tentang makna pemberdayaan dan seberapa jauh nilai pemberdayaan itu merasuk dan menjiwai dalam dari seorang pemberdaya. Semuanya sepakat bahwa masyarakat harus mendapatkan hak-haknya dasarnya, harus diperjuangkan aspirasi politiknya, di kuatkan mekanisme control dan bargaining powernya. Semuanya menyetujui bahwa terdapat ketidakberesan dalam stuktur tatanan birokrasi serta regulasi formal Negara ini. Dan pemberdayaan dianggap sebagai problem solvingnya dari masalah kemiskinan di Negara yang kaya raya ini. Karena memang telah terbukti, bahwa sistem diktator dan otoriterisme dari sistem yang sentralistik telah sukses membawa bangsa ini dalam kebangkrutan.

Dan alangkah sangat mulianya ketika idealisme dan keberpihakan kepada masyarakat yang kurang beruntung itu dapat di terjemahkan dan di implementasikan dalam sebuah kerangka system yang lebih baik. Yang dalam pelaksanaannya di serahkan kepada demokrasi. Yang dalam arti segala bentuk keputusan di kembalikan kepada masyarakat. Meskipun terpaksanya kita kembalikan juga pertanyaanya apakah demokrasi selama ini yang kita jalani sudah merepresentasikan aspirasi politik masyarakat, ataukah sudah di belokan oleh tangan-tangan kekuasaan yang mempunyai kepentingan dan menunggangi dari kebodohan serta ketidaktahuan masyarakatnya. Pelaku pemberdayaan di tantang, apakah mampu untuk menghasilkan goal sesuai dengan cita-cita bersama itu. Dan karena memang hakikatnya secara yuridis kita telah di tunjuk, di bentuk dengan sistem demokratis masyarakat yang berbias, maka seringkali kita terjebak dan menyadari dengan angkuhnya bahwa kita merupakan orang-orang pilihan yang di tugaskan untuk mengentaskan kemiskinan sehingga lupa dan tidak menyadari esensi pemberdayaan masyarakat namun sudah di persempit dengan pemberdayaan diri kita sendiri.

Ketidakberdayaan Sang Pemberdaya



S
ecara sederhana, bila kita mengacu kata pemberdayaan (empowering) selama ini adalah sebuah proses untuk menguatkan serta mendayagunakan agar apa yang sebelumnya tidak berdaya menjadi berdaya. Berdaya dapat bersifat individual maupun juga bersifat tatanan sosial kemasyarakatan. Dapat pula disebut sebagai kemandirian, membangun potensi yang dimilikinya, mengidentifikasi masalah serta sanggup menemukan problem solving-nya sendiri yang mungkin berasal dari dalam diri maupun yang ada di luar diri. Kalau meminjam kata Bung Karno adalah “Berdikari”. Suatu manifesto yang berarti “berdiri di kaki sendiri”. Yaitu suatu kesanggupan dan juga etos untuk dapat menggerakkan, membangkitkan semangat juang untuk maju secara kolektif dan “gagah” dalam menghadapi masalah. Masalah bisa macam-macam, bisa masalah pribadi ataupun masalah sosial yang peta persoalannya mungkin juga adalah kombinasi dari keduanya.  Bisa datang dari internal masyarakat namun juga ada yang dari faktor-faktor eksternal di luar masyarakat.

Term pemberdayaan, menjadi populer ketika dalam sebuah survei dan penelitian ilmiah yang di dasarkan pada Human Development Index (HDI) menampilkan bahwa index manusia Indonesia rata-rata masih tergolong menengah di antara negara-negara lain di dunia. Masih jauh di bawah negara-negara maju di eropa dan Amerika. Namun sedikit lebih baik di atas negara-negara Afrika yang hanya memilki lautan gurun pasir saja. Bandingkan dengan Indonesia, yang memiliki sumber daya yang melimpah ruah namun masih saja miskin. Bahkan masih kalah dengan negara serumpun Malaysia dan ironisnya kalah juga dengan negara “kecamatan" Singapura. 

Dari itulah, di tarik benang merah penyebab masalahnya. Dan salah satu yang menjadi faktor (katanya) adalah ketidakberdayaan masyarakat Indonesia yang mencakup ketidakberdayaan ekonomi, sosial dan politik. 30 Tahun di bawah rezim yang represif, membuat masyarakat Indonesia, gagal dalam menghadapi arus modernisasi yang datang menyerbu bagai air bah bergulung-gulung. Rakyat Indonesia, tidak benar-benar bisa memahami, mengetahui keunggulan sumber daya lokal maupun potensi yang luar biasa ini. Untuk itulah maka, diperlukan pendobrak kejumudan cara berpikir masyarakat untuk membawa masyarakat indonesia menjadi kondisi masyarakat yang berdaya.